Apr 16, 2012

Anak dan Kekerasan Verbal




Pernahkah Anda memanggil seorang anak yang bertubuh kurus dengan panggilan “Ceking”, “Kurus Kering”; seorang yang gemuk dengan panggilan “Gendut” atau “Kuda Nil”; seorang berkulit gelap dengan “Hitam” atau “Keling”; seorang yang pendiam dengan “Bisu” atau “Autis”; seorang yang berbeda dengan “Aneh”. Pernahkah Anda melontarkan kata-kata “Anak Kemarin Sore” atau “Anak Bau Kencur” kepada seorang anak? Bila jawabannya iya - sekalipun dengan niat bergurau dan tanpa bermaksud menyakiti- maka Anda telah melakukan kekerasan verbal, yang juga dikenal dengan istilah kekerasan lisan.

Menurut Dr. Jay Grady -seorang yang telah bergelut selama lebih dari 30 tahun dalam bidang konseling dan menangani  berbagai macam kasus kekerasan dalam hubungan antar manusia- kekerasan verbal adalah penggunaan kata-kata yang secara sengaja ataupun tidak sengaja menyakiti seseorang, kata-kata yang menyerang jati diri dan kemampuan seseorang, atau kata-kata yang membuat seseorang mempercayai pernyataan yang tidak benar mengenai dirinya.

Ironisnya, kekerasan verbal juga turut dipopulerkan oleh tayangan-tayangan di televisi yang acap kali menggunakan kata-kata, yang tergolong dalam kekerasan verbal sebagai salah satu senjata utama mereka untuk memancing tawa pemirsa. Kata-kata seperti: “Setan Lu; Bego Lu; Muka Lu Kayak Kebo; Badan Lu Kayak King-Kong; Kambing Lu; Botak Lu; Peyang Lu”, hanyalah sebagian dari kata-kata yang kerap kita dengar pada tayangan-tayangan komedi tersebut. Menggunakan ciri khas seseorang, baik fisik (ukuran tubuh, tinggi badan, ciri fisik tertentu) maupun non-fisik (sifat, cara berpenampilan, selera pribadi) sebagai bahan lelucon, seolah menjadi hal yang lazim dan dapat diterima.

Hal ini tidak saja mengurangi kepekaan masyarakat terhadap kekerasan verbal, yang membuat mereka merasa bahwa penggunaan kata-kata tersebut lumrah dan dapat diterima semua orang, namun juga menjadi contoh yang buruk bagi anak-anak, dimana mereka mulai meniru perilaku tersebut. Hal ini kemudian berujung pada semakin banyaknya orang-orang yang - secara sadar maupun tidak- melakukan kekerasan verbal terhadap orang-orang di sekeliling mereka.

Lalu kata-kata seperti apakah tepatnya yang dapat digolongkan sebagai kekerasan verbal?

  • Memberi cap negatif dengan kata-kata seperti: “Pemalas; Bodoh; Ceroboh; Jorok; Jelek; Tidak Bisa Diharapkan; Ngga Punya Masa Depan”.
  • Membanding-bandingkan dengan orang lain: “Masa gak dapet rangking, lihat tuh kakak kamu, rangking satu terus”.
  • Menyebut anak berdasarkan ciri fisik tertentu: “Ceking; Gendut; Pendek; Tiang Listrik; Raksasa; Hitam; Peyang; Badak”.
  • Memperolok selera pribadi, misalnya cara berpakaian, selera musik, potongan rambut, hobi: “Kutubuku”.
  • Merendahkan pendapat dan kemampuan anak: “Anak Kecil Sok Tau; Bikin Orang Tua Malu; Gitu Aja Ngga Bisa”.
  • Berbicara dengan nada suara yang keras atau tinggi, membentak.
  • Memerintah atau memaksakan kehendak.
  • Bersikap kritis yang berlebihan.
  • Dan lain lain.

Sebagaimana dapat dilihat dari beberapa contoh di atas, perkataan yang seringkali dianggap sepele atau sekedar canda dan lelucon, juga merupakan bentuk kekerasan verbal.

Kekerasan verbal seringkali dianggap remeh, selain karena dampaknya tidak terlihat secara fisik, orang-orang yang melakukannya pun seringkali tidak sadar telah melakukan kekerasan verbal. Padahal, kekerasan verbal dapat menimbulkan dampak buruk yang cukup besar terhadap kesehatan mental dan perkembangan psikologis seseorang.

Kekerasan verbal bahkan memiliki dampak yang lebih besar dan buruk dibandingkan dengan kekerasan fisik, karena sifatnya yang tersembunyi dan melukai aspek mental dan psikologis seseorang, yang lebih sulit disembuhkan daripada luka fisik. Yang lebih menyulitkan lagi adalah, orang yang mengalami kekerasan verbal seringkali tidak menyadari bahwa mereka telah menjadi korban, sehingga mereka merasa bahwa semua hal-hal buruk yang dikatakan terhadap mereka adalah benar, dan merekalah yang salah. Mereka juga mulai percaya bahwa semua hal buruk yang terjadi kepada mereka adalah sepenuhnya karena kesalahan mereka. Ini membuat mereka tumbuh menjadi pribadi dengan kepercayaan diri dan konsep diri yang rendah.

Dampak lain dari kekerasan verbal adalah terhambatnya perkembangan anak secara sosial dan emosional. Anak-anak yang sering mengalami kekerasan verbal juga dapat tumbuh dengan rasa rendah diri dan konsep diri yang rendah.

Saat mereka dewasa nanti, mereka pun memiliki kemungkinan lebih besar untuk terus menjadi korban kekerasan verbal, atau justru berbalik menjadi pelaku kekerasan verbal. Mereka juga memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk berperilaku agresif dan terlibat dalam tindak kenakalan dan perilaku yang bersifat merusak terhadap diri sendiri, seperti penggunaan narkoba, penyalahgunaan alkohol dan zat adiktif sampai percobaan bunuh diri. Korban kekerasan verbal juga dapat tumbuh menjadi pribadi dengan berbagai macam gangguan psikologis, seperti gangguan kecemasan, depresi dan ketidakstabilan emosional. 

Lalu apa yang dapat kita lakukan untuk dapat mencegah atau mengurangi dampak dari kekerasan verbal?


1. Memberi Contoh yang Baik

Karena anak-anak cenderung mengikuti perilaku yang mereka lihat di sekeliling mereka, maka sebagai orang dewasa kita dapat memulai dengan menjadi contoh yang lebih baik bagi anak-anak, diantaranya dengan tidak melakukan kekerasan verbal, baik terhadap anak-anak maupun terhadap sesama orang dewasa. 

Apabila kita kesal terhadap perbuatan atau perkataan anak dan terpancing untuk mengeluarkan kata-kata yang berpotensi menyakiti anak, sebaiknya kita mengendalikan diri kita terlebih dahulu, dan setelah tenang baru menjelaskan pada anak mengenai


2. Mengembangkan Komunikasi Dua Arah

Mengembangkan komunikasi yang terbuka dan dua arah dengan anak-anak, memberikan kesempatan pada anak untuk mengungkapkan pendapat dan pikirannya, mendengarkan dan menghargai pendapat serta pilihan anak.


3. Membangun Disiplin dengan Tepat

Hukuman atas kesalahan hanya berguna untuk menghentikan perilaku secara sementara. Hukuman juga dapat memiliki banyak efek buruk seperti membangun rasa takut dan rasa tidak suka terhadap pemberi hukuman, membuat anak merasa terkekang, membuat anak berbohong dan menipu untuk menghindari hukuman, dan anak pun tidak memahami kesalahan yang diperbuatnya, ia hanya mengikuti aturan agar terhindar dari hukuman. Saat pemberi hukuman tidak ada, anak dapat kembali menunjukkan perilaku lamanya.

Kesalahan yang dilakukan anak tetap perlu diberikan ganjaran, namun anak perlu terlebih dahulu diberikan peringatan dan penjelasan mengenai kesalahan yang diperbuatnya. Alasan yang diberikan pun  harus logis dan dapat dimengerti oleh sang anak sehingga ia mengerti dengan tepat kesalahan yang ia lakukan. Inti dari pemberian ganjaran adalah agar anak mengetahui dan menyadari kesalahannya, bukan sekedar menghukum kesalahan tersebut.


4. Membangun Budaya Menghargai

Dalam membentuk perilaku, penghargaan jauh lebih efektif dibandingkan hukuman. Hargailah hal-hal baik yang dilakukan oleh anak, betapapun kecilnya. Penghargaan yang diberikan tidak harus berbentuk barang, namun dapat juga melalui perbuatan atau kata-kata. Dengan begitu, anak akan belajar untuk mengulangi  perilaku-perilaku baik tersebut. Hal ini juga akan membuat anak merasa baik tentang dirinya sehingga ia mengembangkan konsep diri yang positif.


5. Mengembangkan Rasa Empati Pada Anak

Jika anak berada di lingkungan dimana kekerasan verbal menjadi sesuatu yang lazim dilakukan oleh orang-orang, atau jika anak menjadi pelaku kekerasan verbal, kita dapat memberi pengertian kepada mereka bahwa perilaku tersebut tidak patut dan dapat memiliki pengaruh buruk yang berkepanjangan terhadap mereka yang menjadi korban. Kita juga dapat meminta sang anak membayangkan apabila dirinya yang menjadi korban kekerasan verbal.


6. Mengajak Anak Melakukan Kegiatan yang Positif

Paparan anak terhadap tayangan di media yang banyak menggunakan kekerasan verbal pun perlu dikurangi untuk mengurangi kemungkinan anak menganggap kekerasan verbal sebagai hal yang biasa dan dapat diterima. Hal ini dapat dilakukan dengan menawarkan pilihan kegiatan lain yang lebih mendidik dan dapat mengembangkan potensi anak,seperti olahraga, kesenian, dan lain lain.


7. Menghentikan Siklus Kekerasan Verbal

Walaupun hal ini tidak mudah dilakukan, hendaknya kita memperingati orang-orang yang melakukan kekerasan verbal saat kita mengetahui atau menyaksikannya di hadapan kita. Hal pertama yang dapat dilakukan adalah dengan menjelaskan kepada si pelaku kekerasan verbal mengenai dampak buruk yang dapat timbul akibat perbuatannya. Kita juga dapat membantu anak yang menjadi korban dengan berbicara dan mencoba membesarkan hatinya. Dalam situasi dimana pelaku kekerasan verbal tidak dapat atau tidak ingin mengubah perilakunya, mungkin kita dapat mempertimbangkan untuk menjauhkan anak dari lingkungan tersebut.

Kekerasan verbal pada anak, sebetulnya termasuk ke dalam kekerasan emosional, yang dapat terjadi dalam berbagai lingkup, baik dalam lingkungan keluarga, di sekolah, maupun di lingkungan masyarakat luas. Selain karena dampak buruknya yang besar dan bersifat jangka panjang, melindungi anak dari segala bentuk kekerasan juga merupakan salah satu Hak Anak yang disepakati dalam Konvensi Hak Anak yang diadakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1989.

Bila kita menginginkan masa depan yang lebih baik bagi bangsa dan negara Indonesia, tidak cukup hanya dengan mengembangkan teknologi, membangun perekonomian dan memperbaiki kancah politiknya, karena hal tersebut tidak akan berarti kecuali generasi penerus kita tumbuh menjadi manusia yang sejahtera secara mental dan emosional. 

Zaldi Hamdani
                                                

*gambar ilustrasi diambil dari www.creativeadawards.com

3 comments:

  1. Hello salam kenal... kami mohon izin untuk share artikel ini ya..

    ReplyDelete
  2. maaf, boleh minta rujukan atau sumber dari artikel ini? artikel ini sangat cocok dalam penelitian skripsi saya. terimakasih sebelum nya. semoga anda mau membantu

    ReplyDelete