Jun 12, 2012

Hari Dunia Menentang Pekerja Anak, Bukan Sekedar Ulang Tahun?





Setiap tanggal 12 Juni, dunia memperingati hari menentang pekerja anak atau “World Day Against Child Labour”. Hampir setiap tahunnya pula, kita sibuk membandingkan turun-naiknya jumlah pekerja anak dari tahun ke tahun.

Pada Konferensi Ketenagakerjaan Internasional yang ke-87 di tahun 1999, International Labour Organization (ILO) telah mengesahkan Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labor. Sebagai tindak lanjut atas konvensi ini, Indonesia kemudian mengesahkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2000. Ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki inisiatif untuk ikut serta dalam upaya menghargai, menjunjung tinggi dan berupaya di dalam penerapan keputusan tersebut.  Negara-negara anggota ILO termasuk Indonesia yang telah meratifikasinya harus segera melakukan tindakan-tindakan untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.

ILO dalam situsnya memperingatkan tentang masih tingginya jumlah anak-anak yang berada pada pekerjaan yang berbahaya, kurang lebih 115 juta anak dari jumlah total 215 juta pekerja anak yang membutuhkan tindakan segera untuk menghentikan praktik-praktik tersebut dan survei Pekerja Anak Nasional yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) menyatakan 1,7 juta anak usia 5-7 tahun adalah pekerja anak. Jumlah yang ada mengalami perubahan yang tidak menentu, seakan mengisyaratkan bahwa tidak ada kejelasan data yang menentukan jumlah daripada pekerja anak di Indonesia. 

Secara jelas kita melihat bahwa pekerja anak semakin hari semakin bertambah. Hampir disetiap kota besar, banyak pekerja anak yang mencoba mengais kehidupan. Fenomena pekerja anak ini sudah lama terjadi di Indonesia, dimana anak-anak di pedesaan dipekerjakan oleh orang tua mereka sendiri menerima upah yang kecil atau bahkan tidak dibayar sama sekali. Hal tersebut tentu wajar mengingat negara kepulauan terbesar ini sudah carut-marut dengan ketidakjelasan di berbagai bidang seperti hukum, sosial maupun politiknya. Tidak heran ketika anak-anak kemudian memutuskan menjadi pekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, karena kondisi perekonomian yang tidak baik di lingkungan keluarga mereka, sehingga mereka mengesampingkan pendidikan serta hak-hak mereka yang lainnya.

BPS dalam berita resminya (No.06/01/Th.XV, 2 Januari 2012) menyatakan bahwa selama periode Maret 2011 hingga September 2011, penduduk miskin di daerah perkotaan dan perdesaan masing-masing turun 0,14 persen dan 0,13 persen. Pada periode tersebut juga, penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang 0,09 juta orang dan di daerah perdesaan berkurang 0,04 juta orang. Namun pada kenyataannya jumlah pekerja anak yang kita lihat di jalanan terus meningkat.
Sekedar Ulang Tahun ?

Penurunan angka pada jumlah pekerja anak tiap tahunnya tentu saja harus disyukuri, karena tantangan yang dihadapi dalam menangani pekerja anak ini sangat besar dan berat. Hampir setiap negara selalu memperingati, begitu pula pemerintah dan lembaga-lembaga yang ada di Indonesia. Namun, apakah sekedar memperingati layaknya seseorang yang merayakan ulang tahun, atau mengenang hari jadi pernikahan sebuah pasangan? Nilai-nilai yang dikandung tentu berbeda, pada setiap momen perayaan ulang tahun yang diperingati oleh setiap orangnya. Begitu pula dengan kita dalam memperingati Hari Dunia Menentang Pekerja Anak ini. Saya sempat berpikir, bahwa persoalan-persoalan ini sangat rentan sekali, banyak orang dewasa tidak memahami hal ini. Orang-orang dewasa cenderung melupakan perbedaan dan pembatasan pada usia anak, mereka kerap melakukan hal yang sama yang dapat mereka lakukan sebagaimana layaknya orang dewasa. Anak-anak ini tentu harus di tempatkan sebagai subjek bukan sebagai objek dan korban dari ketidakpahaman mereka. Banyak orang dewasa tidak memandang mereka berdasarkan pemahaman dan penghormatan terhadap Hak Anak, karena orang dewasa banyak yang tidak mengetahui hak-hak anak, apalagi anak itu sendiri.

Masalah pekerja anak ini bukan hanya sebagai fenomena tetapi juga suatu keadaan yang penting untuk disikapi secara serius mengingat hal tersebut mengancam kualitas hidup dan hak-hak mereka sebagai anak yang menjadi tumpuan masa depan mereka, sehingga perlu penanganan dan perhatian besar dan khusus dalam menyelesaikan persoalan ini. Dalam konvensi mengenai pelarangan dan tindakan segera untuk penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, dengan jelas dinyatakan pada Pasal 3:

a. segala bentuk perbudakan atau praktik-praktik sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak-anak, kerja ijon (debt bondage) dan penghambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak-anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata;
 b. pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukkan-pertunjukkan porno;
 c. pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan haram, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan;
 d. pekerjaan yang sifatnya atau lingkungan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, atau moral anak-anak.

Hal-hal tersebut adalah hal-hal yang menjadi pengertian bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, bila kita melihat pada keempat poin diatas, keseluruhan pernah dan telah terjadi di Indonesia. Khususnya pada poin d, yang lebih banyak kita jumpai pada pekerja anak. Para pekerja anak, yang seharusnya tidak bekerja dan menikmati masa pertumbuhan mereka dengan berbagai layanan hak-hak mereka, harus bekerja ditempat-tempat yang justru merugikan mereka, mulai dari jalanan, pabrik, pasar, stasiun kereta api, terminal, pelabuhan, bahkan tempat-tempat yang dapat merusak moral mereka, seperti klub malam, lokalisasi, dan sebagainya. Tentu hal itu sangat merugikan dan tidak memberikan dampak positif terhadap tumbuh kembang anak. Selanjutnya, pada Pasal 6 Ayat 1; setiap anggota wajib merancang dan melaksanakan program aksi untuk menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak sebagai prioritas. Meskipun hal ini telah dibuktikan oleh pemerintah lewat Keputusan Presiden No. 59 tahun 2002, namun masih kurang menyeluruh, mengingat fungsi pemerintah mencakup tiga fungsi pokok yang seharusnya dijalankan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah, yang terdiri dari fungsi pengaturan, pelayanan dan pemberdayaan. Ketiga fungsi tersebut seharusnya dapat dilaksanakan dan diterapkan lebih maksimal, sehingga masalah pekerja anak ini dapat diatasi.

Hal ini juga dipertegas kembali pada Pasal 7 Ayat 2; perlunya memperhitungkan pentingnya pendidikan dalam menghapuskan kerja anak, mengambil tindakan efektif dan terikat waktu untuk :

a. mencegah penggunaan anak-anak dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak;
b. memberikan bantuan langsung yang perlu dan sesuai untuk membebeskan anak-anak dan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dan untuk rehabilitasi serta integrasi sosial mereka;
c. menjamin tersedianya pendidikan dasar secara cuma-cuma dan bila mungkin dan sesuai, pelatihan kejuruan bagi anak-anak yang telah dibebaskan dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak;
d. mengidentifikasi dan menjangkau anak-anak berisiko khusus;
e. memperhitungkan situasi khusus anak-anak perempuan.

Lagi-lagi pasal ini mengingatkan kepada kita secara jelas, pola yang seperti apa dan bagaimana seharusnya kita terapkan dalam penanganan persoalan pekerja anak ini. Harusnya negara dalam hal ini pemerintah, lebih bersinergi keras dan efektif dalam mengedepankan hak anak serta kepentingan terbaik bagi anak. Kita tidak bisa tutup mata terhadap persoalan pekerja anak, karena secara psikologis tumbuh kembang anak ini sudah terhambat, dan memberikan dampak yang tidak baik terhadap anak. Anak-anak juga tidak menyadari akan hal tersebut, karena mereka senang saat mendapatkan uang dengan bekerja dan bisa menggunakannya sesuka hati mereka. Tidak mengherankan bila jumlah anak yang tidak bersekolah bukan melulu dikarenakan ketidakberdayaan perekonomian keluarga mereka, tetapi juga dikarenakan keinginan dan motivasi mendapatkan uang.
Perlu kita pertegas, bahwa anak disini merupakan korban, dimana mereka harus mengorbankan masa pertumbuhan mereka, masa kecil yang harusnya mengenyam pendidikan sebagai dasar pijakan mereka tumbuh dan memiliki masa depan, dimana anak-anak dapat merasakan hangatnya sebuah keluarga, dan bahagianya dalam proses pertemanan, lagi-lagi kita tidak melindungi hak mereka. Hampir setiap lembaga menyatakan kepentingan terbaik bagi anak, dan harus mengedepankan hak anak, namun dalam proses perjalanannya itu semua hanya omong kosong belaka. Kerap terjadi lempar tanggung jawab, dan sikap acuh terhadap persoalan yang semakin hari kian menghawatirkan ini.  Perlu rasanya, memastikan patok yang telah ditancapkan apakah telah berpindah tempat atau masih ditempat yang sama namun perlu diganti dengan patok yang baru, atau justru sebaliknya, sehingga kita dapat dengan jelas mengawal konvensi dan undang-undang yang telah dihasilkan untuk Indonesia ini. Kita sudah cukup ‘membiarkan’ pekerja anak semakin bertumbuh dan hampir tidak terhitung, kiranya momen peringatan ini bukan sekedar mengenang atau merayakan layaknya sebuah pesta ulang tahun, melainkan momen untuk merefleksikan diri untuk melihat kembali fungsi negara, masyarakat dan  kita untuk masa depan anak.

Tempat Yang Aman

Masa anak dan remaja adalah masa perubahan, masa ketika anak muda menghadapi berbagai pengalaman baru. Berbagai lingkungan menghadirkan banyak situasi baru dan tidak terduga yang memerlukan respons yang sebelumnya belum pernah mereka lakukan. Seorang anak tentu saja tidak terlepas dari pengaruh pengalaman yang mereka lalui, dalam kenyataan, patut disayangkan bahwa banyak anak muda yang tidak akan mengalami perjalan melalui masa muda yang lempang dan tidak banyak masalah. Kesulitan yang mereka alami bisa terkait dengan bermacam faktor, di antaranya yang paling penting adalah kepribadian dan kemampuan mereka untuk mengatasi berbagai kesulitan tersebut, disamping kesulitan dari faktor eksternal, seperti lingkungan, ekonomi, sosial dan budaya. Namun yang perlu kita garis bawahi disini adalah bagaimana seorang anak dapat hidup layak dan memperoleh haknya tanpa kekurangan sesuatu apa pun. 

Pada dasarnya, tempat yang aman bagi seorang anak adalah di lingkungan keluarganya. Sebuah keluarga tentu harus memahami keseluruhan daripada hak anak, dan perlu pemahaman yang besar terhadap tumbuh kembang anak, sehingga tempat yang aman bagi anak tersebut, benar-benar memberikan kenyamanan bagi anak tersebut. Jarang sekali orang-orang dewasa mendengarkan apa yang diinginkan anak-anak, mendengarkan pendapat seorang anak kerap menjadi lelucon bagi orang dewasa, padahal suara mereka sangat perlu didengarkan, bukan persoalan benar atau salahnya akan tetapi lebih kepada proses menghargai untuk memperkuat komunikasi dan interaksi, sekaligus mengikuti perkembangannya, selain itu juga keluarga, khususnya orang tua perlu membangun pola komunikasi yang sehat dengan anak-anak mereka.

Komunikasi dua arah sangatlah penting, dimana para orang tua mampu berkomunikasi secara efektif dengan putra-putri mereka, sehingga kedua belah pihak memiliki kesiapan untuk mengemukakan sudut pandang mereka secara jelas. Komunikasi seperti ini akan memberikan lebih banyak kesempatan kepada anak untuk berkembang secara adaptif. Selain itu ada juga faktor-faktor lainnya yang menjadi penentu didalam perkembangan anak antara lain faktor lingkungan dan teman sebaya, yang perlu diperhatikan dan didukung oleh keluarga. 

Keluarga atau orang dewasa harus mampu menjadi social actor, yang berarti individu yang mengambil peran dalam tindakan sosial. Ada beberapa kemiripan dengan pengertian theater, bahwa tindakan sosial dapat dianggap sebuah pentas, namun implikasi utama menggunakan istilah itu adalah fokusnya pada kualitas, perasaan, niat dan pemahaman individu. Sehingga perlu kita menyadari kepentingan-kepentingan terbaik untuk anak benar-benar tidak dapat diberikan setengah-setengah, khususnya didalam memerangi pekerja anak ini. Hal ini sangat mendesak dan tidak dapat ditunda lagi, sehingga perlu sinergi yang kuat dan menyatukan misi yang sama, untuk sama-sama menentang dan memerangi pekerja anak di dunia, khususnya bumi pertiwi Indonesia.

Selamat memperingati hari dunia menentang pekerja anak, semoga hari depan yang cerah bagi anak-anak terus terwujud.


Maykel Ifan Situmorang

Sumber Gambar

http://nationalgeographic.co.id/berita/2010/10/bukan-isu-kecil-215-juta-pekerja-anak-di-seluruh-dunia

No comments:

Post a Comment