Setiap tanggal 12 Juni, dunia memperingati hari menentang pekerja anak atau
“World Day Against
Child Labour”. Hampir setiap tahunnya pula, kita sibuk membandingkan turun-naiknya jumlah pekerja anak dari tahun ke tahun.
Pada Konferensi Ketenagakerjaan Internasional yang ke-87 di tahun 1999, International Labour Organization (ILO) telah mengesahkan Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labor. Sebagai tindak lanjut atas konvensi ini, Indonesia kemudian mengesahkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2000. Ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki inisiatif untuk ikut serta dalam upaya menghargai, menjunjung tinggi dan berupaya di dalam penerapan keputusan tersebut. Negara-negara anggota ILO termasuk Indonesia yang telah meratifikasinya harus segera melakukan tindakan-tindakan untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
Pada Konferensi Ketenagakerjaan Internasional yang ke-87 di tahun 1999, International Labour Organization (ILO) telah mengesahkan Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labor. Sebagai tindak lanjut atas konvensi ini, Indonesia kemudian mengesahkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2000. Ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki inisiatif untuk ikut serta dalam upaya menghargai, menjunjung tinggi dan berupaya di dalam penerapan keputusan tersebut. Negara-negara anggota ILO termasuk Indonesia yang telah meratifikasinya harus segera melakukan tindakan-tindakan untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
ILO
dalam situsnya memperingatkan tentang masih tingginya jumlah anak-anak yang
berada pada pekerjaan yang berbahaya, kurang lebih 115 juta anak dari jumlah
total 215 juta pekerja anak yang membutuhkan tindakan segera untuk menghentikan
praktik-praktik tersebut dan survei Pekerja Anak Nasional yang dilakukan oleh
Biro Pusat Statistik (BPS) menyatakan 1,7 juta anak usia 5-7 tahun adalah
pekerja anak. Jumlah yang ada mengalami perubahan yang tidak menentu, seakan
mengisyaratkan bahwa tidak ada kejelasan data yang menentukan jumlah daripada
pekerja anak di Indonesia.
Secara
jelas kita melihat bahwa pekerja anak semakin hari semakin bertambah. Hampir
disetiap kota besar, banyak pekerja anak yang mencoba mengais kehidupan. Fenomena pekerja anak ini sudah lama terjadi di Indonesia, dimana anak-anak
di pedesaan dipekerjakan oleh orang tua mereka sendiri menerima upah yang kecil atau bahkan tidak dibayar sama sekali. Hal
tersebut tentu wajar mengingat negara kepulauan terbesar ini sudah carut-marut
dengan ketidakjelasan di berbagai bidang seperti hukum, sosial maupun
politiknya. Tidak heran ketika anak-anak kemudian memutuskan menjadi pekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, karena kondisi perekonomian yang tidak baik di lingkungan
keluarga mereka, sehingga mereka mengesampingkan pendidikan serta hak-hak
mereka yang lainnya.
BPS dalam berita resminya (No.06/01/Th.XV, 2 Januari 2012) menyatakan bahwa
selama periode Maret 2011 hingga September 2011, penduduk miskin di daerah
perkotaan dan perdesaan masing-masing turun 0,14 persen dan 0,13 persen. Pada periode tersebut juga, penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang
0,09 juta orang dan di daerah perdesaan berkurang 0,04 juta orang. Namun pada kenyataannya jumlah pekerja anak yang kita lihat di jalanan terus meningkat.
Sekedar Ulang Tahun
?
Penurunan
angka pada jumlah pekerja anak tiap tahunnya tentu saja harus disyukuri, karena
tantangan yang dihadapi dalam menangani pekerja anak ini sangat besar dan
berat. Hampir setiap negara selalu memperingati, begitu pula pemerintah dan lembaga-lembaga
yang ada di Indonesia. Namun, apakah sekedar memperingati layaknya seseorang
yang merayakan ulang tahun, atau mengenang hari jadi pernikahan sebuah
pasangan? Nilai-nilai yang dikandung tentu berbeda, pada setiap momen perayaan
ulang tahun yang diperingati oleh setiap orangnya. Begitu pula dengan kita
dalam memperingati Hari Dunia Menentang Pekerja Anak ini. Saya sempat berpikir,
bahwa persoalan-persoalan ini sangat rentan sekali, banyak orang dewasa tidak
memahami hal ini. Orang-orang dewasa cenderung melupakan perbedaan dan
pembatasan pada usia anak, mereka kerap melakukan hal yang sama yang dapat
mereka lakukan sebagaimana layaknya orang dewasa. Anak-anak ini tentu harus di
tempatkan sebagai subjek bukan sebagai objek dan korban dari ketidakpahaman
mereka. Banyak orang dewasa tidak memandang mereka berdasarkan pemahaman dan
penghormatan terhadap Hak Anak, karena orang dewasa banyak yang tidak mengetahui hak-hak
anak, apalagi anak itu sendiri.
Masalah
pekerja anak ini bukan hanya sebagai fenomena tetapi juga suatu keadaan yang penting untuk disikapi secara serius mengingat hal tersebut
mengancam kualitas hidup dan hak-hak mereka sebagai anak yang menjadi tumpuan
masa depan mereka, sehingga perlu penanganan dan perhatian besar dan khusus
dalam menyelesaikan persoalan ini. Dalam konvensi mengenai pelarangan dan
tindakan segera untuk penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak,
dengan jelas dinyatakan pada Pasal 3:
a. segala bentuk
perbudakan atau praktik-praktik sejenis perbudakan, seperti penjualan dan
perdagangan anak-anak, kerja ijon (debt bondage) dan penghambaan serta kerja
paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak-anak secara paksa atau wajib
untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata;
b. pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukkan-pertunjukkan porno;
b. pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukkan-pertunjukkan porno;
c. pemanfaatan,
penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan haram, khususnya untuk produksi
dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional
yang relevan;
d. pekerjaan
yang sifatnya atau lingkungan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan
kesehatan, atau moral anak-anak.
Hal-hal tersebut adalah hal-hal yang menjadi pengertian bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak, bila kita melihat pada keempat poin diatas, keseluruhan
pernah dan telah terjadi di Indonesia. Khususnya pada poin d, yang lebih banyak kita jumpai pada pekerja anak.
Para pekerja anak, yang seharusnya tidak bekerja dan menikmati masa pertumbuhan
mereka dengan berbagai layanan hak-hak mereka, harus bekerja ditempat-tempat
yang justru merugikan mereka, mulai dari jalanan, pabrik, pasar, stasiun
kereta api, terminal, pelabuhan, bahkan tempat-tempat yang dapat merusak moral mereka,
seperti klub malam, lokalisasi, dan sebagainya. Tentu hal itu sangat merugikan
dan tidak memberikan dampak positif terhadap tumbuh kembang anak. Selanjutnya,
pada Pasal 6 Ayat 1; setiap anggota wajib merancang dan melaksanakan program
aksi untuk menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak sebagai
prioritas. Meskipun hal ini telah dibuktikan oleh pemerintah lewat Keputusan
Presiden No. 59 tahun 2002, namun masih kurang menyeluruh, mengingat fungsi
pemerintah mencakup tiga fungsi pokok yang seharusnya dijalankan oleh
pemerintah baik pusat maupun daerah, yang terdiri dari fungsi pengaturan,
pelayanan dan pemberdayaan. Ketiga fungsi tersebut seharusnya dapat
dilaksanakan dan diterapkan lebih maksimal, sehingga masalah pekerja anak ini
dapat diatasi.
Hal
ini juga dipertegas kembali pada Pasal 7 Ayat 2; perlunya memperhitungkan
pentingnya pendidikan dalam menghapuskan kerja anak, mengambil tindakan efektif
dan terikat waktu untuk :
a. mencegah
penggunaan anak-anak dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak;
b. memberikan
bantuan langsung yang perlu dan sesuai untuk membebeskan anak-anak dan
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dan untuk rehabilitasi serta
integrasi sosial mereka;
c. menjamin
tersedianya pendidikan dasar secara cuma-cuma dan bila mungkin dan sesuai,
pelatihan kejuruan bagi anak-anak yang telah dibebaskan dari bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk untuk anak;
d.
mengidentifikasi dan menjangkau anak-anak berisiko khusus;
e.
memperhitungkan situasi khusus anak-anak perempuan.
Lagi-lagi
pasal ini mengingatkan kepada kita secara jelas, pola yang seperti apa dan
bagaimana seharusnya kita terapkan dalam penanganan persoalan pekerja anak ini.
Harusnya negara dalam hal ini pemerintah, lebih bersinergi keras dan efektif
dalam mengedepankan hak anak serta kepentingan terbaik bagi anak. Kita tidak
bisa tutup mata terhadap persoalan pekerja anak, karena secara psikologis
tumbuh kembang anak ini sudah terhambat, dan memberikan dampak yang tidak baik
terhadap anak. Anak-anak juga tidak menyadari akan hal tersebut, karena mereka senang saat mendapatkan uang dengan bekerja dan bisa menggunakannya sesuka hati
mereka. Tidak mengherankan bila jumlah anak yang tidak bersekolah bukan melulu dikarenakan
ketidakberdayaan perekonomian keluarga mereka, tetapi juga dikarenakan
keinginan dan motivasi mendapatkan uang.
Perlu
kita pertegas, bahwa anak disini merupakan korban, dimana mereka harus
mengorbankan masa pertumbuhan mereka, masa kecil yang harusnya mengenyam
pendidikan sebagai dasar pijakan mereka tumbuh dan memiliki masa depan, dimana
anak-anak dapat merasakan hangatnya sebuah keluarga, dan bahagianya dalam
proses pertemanan, lagi-lagi kita tidak melindungi hak mereka. Hampir setiap
lembaga menyatakan kepentingan terbaik bagi anak, dan harus mengedepankan hak
anak, namun dalam proses perjalanannya itu semua hanya omong kosong belaka.
Kerap terjadi lempar tanggung jawab, dan sikap acuh terhadap persoalan yang
semakin hari kian menghawatirkan ini.
Perlu rasanya, memastikan patok yang telah ditancapkan apakah telah
berpindah tempat atau masih ditempat yang sama namun perlu diganti dengan patok
yang baru, atau justru sebaliknya, sehingga kita dapat dengan jelas mengawal
konvensi dan undang-undang yang telah dihasilkan untuk Indonesia ini. Kita
sudah cukup ‘membiarkan’ pekerja anak semakin bertumbuh dan hampir tidak
terhitung, kiranya momen peringatan ini bukan sekedar mengenang atau merayakan
layaknya sebuah pesta ulang tahun, melainkan momen untuk merefleksikan diri
untuk melihat kembali fungsi negara, masyarakat dan kita untuk masa depan anak.
Tempat Yang Aman
Masa
anak dan remaja adalah masa perubahan, masa ketika anak muda menghadapi
berbagai pengalaman baru. Berbagai lingkungan menghadirkan banyak situasi baru dan tidak terduga yang
memerlukan respons yang sebelumnya belum pernah mereka lakukan. Seorang anak
tentu saja tidak terlepas dari pengaruh pengalaman yang mereka lalui, dalam
kenyataan, patut disayangkan bahwa banyak anak muda yang tidak akan mengalami
perjalan melalui masa muda yang lempang dan tidak banyak masalah. Kesulitan
yang mereka alami bisa terkait dengan bermacam faktor, di antaranya yang paling
penting adalah kepribadian dan kemampuan mereka untuk mengatasi berbagai
kesulitan tersebut, disamping kesulitan dari faktor eksternal, seperti
lingkungan, ekonomi, sosial dan budaya. Namun yang perlu kita garis bawahi
disini adalah bagaimana seorang anak dapat hidup layak dan memperoleh haknya
tanpa kekurangan sesuatu apa pun.
Pada
dasarnya, tempat yang aman bagi seorang anak adalah di lingkungan
keluarganya. Sebuah keluarga tentu harus memahami keseluruhan daripada hak
anak, dan perlu pemahaman yang besar terhadap tumbuh kembang anak, sehingga
tempat yang aman bagi anak tersebut, benar-benar memberikan kenyamanan bagi
anak tersebut. Jarang sekali orang-orang dewasa mendengarkan apa yang diinginkan anak-anak, mendengarkan pendapat seorang anak kerap menjadi lelucon bagi orang
dewasa, padahal suara mereka sangat perlu didengarkan, bukan persoalan benar
atau salahnya akan tetapi lebih kepada proses menghargai untuk memperkuat
komunikasi dan interaksi, sekaligus mengikuti perkembangannya, selain itu juga
keluarga, khususnya orang tua perlu membangun pola komunikasi yang sehat dengan anak-anak mereka.
Komunikasi dua arah sangatlah penting, dimana
para orang tua mampu berkomunikasi secara efektif dengan putra-putri mereka, sehingga kedua
belah pihak memiliki kesiapan untuk mengemukakan sudut pandang mereka secara
jelas. Komunikasi seperti ini akan memberikan lebih banyak kesempatan kepada anak untuk berkembang
secara adaptif. Selain itu ada juga faktor-faktor lainnya yang menjadi
penentu didalam perkembangan anak antara lain faktor lingkungan dan teman
sebaya, yang perlu diperhatikan dan didukung oleh keluarga.
Keluarga atau orang dewasa harus mampu menjadi social actor, yang berarti individu yang mengambil peran dalam tindakan sosial. Ada beberapa kemiripan dengan pengertian theater, bahwa tindakan sosial dapat dianggap sebuah pentas, namun implikasi utama menggunakan istilah itu adalah fokusnya pada kualitas, perasaan, niat dan pemahaman individu. Sehingga perlu kita menyadari kepentingan-kepentingan terbaik untuk anak benar-benar tidak dapat diberikan setengah-setengah, khususnya didalam memerangi pekerja anak ini. Hal ini sangat mendesak dan tidak dapat ditunda lagi, sehingga perlu sinergi yang kuat dan menyatukan misi yang sama, untuk sama-sama menentang dan memerangi pekerja anak di dunia, khususnya bumi pertiwi Indonesia.
Keluarga atau orang dewasa harus mampu menjadi social actor, yang berarti individu yang mengambil peran dalam tindakan sosial. Ada beberapa kemiripan dengan pengertian theater, bahwa tindakan sosial dapat dianggap sebuah pentas, namun implikasi utama menggunakan istilah itu adalah fokusnya pada kualitas, perasaan, niat dan pemahaman individu. Sehingga perlu kita menyadari kepentingan-kepentingan terbaik untuk anak benar-benar tidak dapat diberikan setengah-setengah, khususnya didalam memerangi pekerja anak ini. Hal ini sangat mendesak dan tidak dapat ditunda lagi, sehingga perlu sinergi yang kuat dan menyatukan misi yang sama, untuk sama-sama menentang dan memerangi pekerja anak di dunia, khususnya bumi pertiwi Indonesia.
Selamat
memperingati hari dunia menentang pekerja anak, semoga hari depan yang cerah
bagi anak-anak terus terwujud.
Maykel Ifan Situmorang
Sumber Gambar
http://nationalgeographic.co.id/berita/2010/10/bukan-isu-kecil-215-juta-pekerja-anak-di-seluruh-dunia
No comments:
Post a Comment