Sep 21, 2012

4 Kesalahan Umum dalam Komunikasi Orangtua dengan Anak


Membesarkan anak merupakan salah satu peran yang paling menantang untuk dijalankan para orangtua. Perbedaan pandangan dan kesalahpahaman mengenai cara-cara yang baik dalam membesarkan anak dapat berujung pada pengasuhan dan pola komunikasi yang kurang efektif antara orangtua dengan anak.

Sebagian orangtua menggunakan pola asuh “otoriter”, dimana anak lebih banyak diarahkan dan tidak banyak diberi kesempatan untuk berkreasi dan membuat pilihan sendiri. Sebagian lagi melakukan sebaliknya, mereka bersikap “permisif” dengan terlalu banyak memberikan kebebasan kepada anak dan kurang memberikan batasan yang jelas. Penelitian menunjukkan bahwa kedua jenis pola asuh tersebut dapat berdampak buruk terhadap perkembangan emosional mereka dan dapat menyulitkan mereka dalam membina hubungan yang sehat saat mereka dewasa nanti.

Pola asuh yang ideal adalah dimana orangtua dapat bersikap adil, menghargai, luwes, dan menjadikan pembelajaran sebagai tujuan utama, bukan sekedar menuntut kepatuhan dari anak. Mendengarkan dan menghargai perasaan anak, mengizinkan anak membuat keputusan sendiri, dan di saat yang sama menetapkan batasan-batasan yang jelas serta konsekuensi yang tegas dan adil terhadap perilaku-perilaku yang tidak diinginkan.

Tulisan ini akan memberikan beberapa contoh komunikasi yang kurang efektif antara orangtua dengan anak dan memberikan contoh lain yang lebih tepat dalam mengungkapkan pesan yang hendak disampaikan.


1. Terlalu Banyak Bicara

Penelitian menunjukkan bahwa otak manusia memiliki kemampuan yang terbatas dalam menyimpan informasi pada waktu yang bersamaan. Menyampaikan terlalu banyak hal pada waktu yang bersamaan akan membuat anak bingung, sehingga mereka akan berhenti mendengarkan dan memperhatikan apa yang dikatakan orangtua mereka.

Tidak Efektif:

“Apa kamu yakin masih mau aktif di klub sepakbola itu? Sekarang aja kamu udah les Matematika dan Bahasa Inggris tiap hari untuk persiapan Ujian Nasional. Kalo kamu masih mau ikut klub sepakbola itu, berarti kamu baru bisa ikut les nya setelah latihan, padahal perjalanan dari tempat latihan ke rumah 30 menit, belum lagi kalo macet, bisa sampe 1 jam..”

Pernyataan diatas menyampaikan terlalu banyak informasi, yang dapat membuat anak bingung akan arah dan maksud pembicaraan tersebut. Pernyataan tersebut juga cenderung bersifat negatif karena menyampaikan kecemasan dan keraguan tanpa maksud dan tujuan yang jelas, hal ini dapat membuat anak bingung dalam memberikan tanggapan. Akan lebih baik apabila pesan disampaikan secara bertahap agar lebih mudah dicerna, tidak menyampaikan semua informasi dalam waktu yang bersamaan, mengajak anak berdialog untuk menemukan solusinya, dan memberikan kesempatan pada anak untuk mengungkapkan apa yang ia inginkan.

Efektif:

“Kalau kamu masih mau aktif di klub sepakbola semester ini, berarti kamu baru bisa ikut les untuk Ujian Nasional di malam hari. Ayo kita pikirin dan bicarain sama-sama untuk melihat apa kamu sanggup melakukan kedua kegiatan itu.”

Dalam contoh ini, orangtua menyampaikan pesannya dalam dua kalimat, yang membuat anak lebih mudah menangkap pesan yang disampaikan, yaitu berdiskusi mengenai kegiatan yang ia jalani. Hasil yang diharapkan pun jelas, yaitu untuk melihat apakah anak sanggup menjalankan kedua kegiatan tersebut secara bersamaan. Dengan mengajak anak berdiskusi, maka orangtua manyampaikan keinginan mereka untuk membantu anak dalam menemukan solusi atas permasalahan yang ia hadapi.



2. Mengomeli dan Memperingati Secara Berulang Ulang

Kebanyakan orangtua mengalami masalah dalam mendorong anak mereka untuk melakukan hal-hal tertentu, seperti mengerjakan pekerjaan rumah, mandi dan berpakaian untuk sekolah, merapikan kamar. Banyak orangtua yang akhirnya mencoba mengendalikan keadaan dengan mengomeli dan memperingati anak secara berulang-ulang. Masalahnya, memberikan omelan dan peringatan yang berulang-ulang justru melatih anak untuk bersikap tidak acuh, karena mereka tahu mereka masih akan diingatkan lagi nantinya. Anak-anak yang masih kecil memang masih membutuhkan banyak bimbingan dan arahan, namun seiring dengan bertambahnya usia mereka, mereka juga perlu diberikan lebih banyak kepercayaan dan tanggung jawab.

Tidak Efektif:

“Ayo bangun sekarang, siap-siap, nanti kamu terlambat lagi nyampe sekolah. Buku pelajaran hari ini udah disiapin? Seragam buat hari ini udah kamu siapin?”

Sepuluh menit kemudian

“Kamu ini kok udah dibilangin malah masih tidur-tiduran? Nanti Papa juga terlambat. Cepet sana mandi dan siap-siap.”

Sepuluh menit kemudian

“Loh kok masih nyiapin buku? Harusnya kan dari semalem udah kamu siapin! Terlambat lagi deh.”

Dan seterusnya.

Dalam contoh diatas, sang Bapak terlalu banyak mengambil tanggung jawab anaknya, dan secara tidak langsung memberikan kesan bahwa sang anak tidak dapat mengatasi keadaan tersebut tanpa diperintah dan diarahkan. Hal ini dapat membuat anak menjadi kurang percaya diri dan mengembangkan ketergantungan yang berlebihan. Cara bicaranya pun cenderung bernada negatif dan menyerang, sehingga dapat memicu kekesalan bahkan perlawanan dari anak.

Efektif:

“Kita berangkat 30 menit lagi ya. Kalau kamu belum siapin semua keperluan kamu untuk sekolah, nanti kamu yang harus jelasin ke guru kamu.”

Melalui pernyataan tersebut, orangtua menyampaikan arahan yang singkat dan jelas, yang bernada netral dan bebas dari penilaian terhadap anak. Orangtua juga mengajarkan anak untuk mandiri dan bertanggung jawab atas perilaku mereka dengan menyampaikan konsekuensi logis yang harus dihadapi anak apabila ia tidak siap pada waktunya.



3. Menggunakan Rasa Bersalah dan Malu Untuk Mendapatkan Kepatuhan

Satu hal yang seringkali dilupakan banyak orangtua adalah anak-anak tidak secara alami memiliki empati dan pengertian terhadap keinginan dan kebutuhan orang lain, termasuk orangtua mereka sendiri. Mereka mengembangkan kemampuan tersebut secara perlahan seiring dengan bertambahnya usia mereka, dan dengan teladan dari orang lain. Dengan demikian, mengharapkan anak untuk dapat menempatkan diri dalam posisi orangtua mereka merupakan hal yang kurang masuk akal.

Kebanyakan orangtua memiliki banyak pekerjaan dan kesibukan lain selain menjadi orangtua, sehingga seringkali mereka lupa memperhatikan kebutuhan mereka sendiri, dan melampiaskan kekesalan tersebut kepada orang lain, termasuk anak. Sangat penting bagi para orangtua untuk tidak membiarkan hal-hal tersebut mempengaruhi komunikasi mereka dengan anak.

Tidak Efektif:

“Bukannya mama udah sering ingetin kamu untuk rapiin barang-barang kamu sendiri, ini kok mainan kamu berceceran di ruang tamu?!  Kamu ngga tau apa mama udah capek ngurusin rumah seharian? Masak buat kamu, nyuci pakaian, nyapu, ngepel, masa mama harus beresin kamar kamu juga, kaya anak kecil aja! Kenapa sih gitu aja ga bisa?”

Pernyataan diatas bernada menyalahkan dan merendahkan sang anak. Walaupun kegusaran sang Ibu dapat dipahami, menyalahkan dan menilai anak sebagai “anak kecil” yang tidak bertanggung jawab dan “tidak mampu” melakukan sesuatu dapat mengembangkan rasa rendah diri dan tidak percaya diri pada anak. Dengan dinilai seperti itu, anak akan merasa bahwa dirinya tidak cukup baik untuk diterima oleh orangtuanya sendiri. Seharusnya, yang menjadi fokus adalah perilaku yang tidak diinginkan, bukan anak itu sendiri.

Efektif:

“Mama lihat mainan-mainan kamu masih ada di ruang tamu,  dan itu membuat mama kecewa. Mama pingin rumah dalam keadaan rapi dan bisa jadi tempat yang nyaman buat semuanya. Hari ini mama simpan dulu ya mainannya, besok boleh kamu ambil lagi setelah kamu rapiin semuanya.”

Dalam pernyataan diatas, sang Ibu mengungkapkan dengan jelas perasaan dan keinginannya, tanpa memarahi, menyalahkan, ataupun memberikan penilaian terhadap anak. Ia pun memberikan hukuman yang ringan dan memberi kesempatan pada anak untuk memperbaiki kesalahnnya.


4. Tidak Mendengarkan

Semua orangtua ingin agar anak-anak mereka mampu menghargai dan menghormati orang lain. Cara terbaik untuk mencapainya adalah dengan menjadi teladan bagi mereka dengan memberi contoh lewat perilaku dan perkataan sehari-hari. Hal ini mengembangkan kemampuan mereka untuk berkomunikasi dengan efektif dan berempati terhadap orang lain.

Mendengarkan seringkali merupakan hal yang sulit dilakukan para orangtua, karena kesibukan ataupun hal-hal lain yang menyita pikiran mereka. Dalam keadaan tersebut, akan lebih baik bila orangtua untuk berkata: “Papa cape nih, baru pulang kerja, nanti ya kamu ceritain setelah papa mandi”. Lebih baik menunda percakapan untuk beberapa saat dibandingkan mendengar dengan setengah hati. Namun penundaan tersebut sebaiknya tidak lama, karena anak-anak dapat kehilangan minat mereka untuk bercerita.

Tidak Efektif:

Anak       : Pa! Aku tadi bikin gol loh!
Bapak    : (Sambil melihat dan mengetik di telepon genggamnya) Wah, hebat kamu nak. Kamu udah selesai ngerjain PR belum?

Mendengarkan secara efektif juga melibatkan aspek-aspek non-verbal, seperti menjaga kontak mata, menyampaikan pemahaman dengan wajah dan intonasi suaram dan menggunakan kata-kata untuk mengungkapkan pemahaman kita. Dalam contoh di atas, sang Bapak secara tidak langsung mengajari anak untuk tidak mengganggunya, dan bahwa hal-hal yang penting bagi sang anak, dalam hal ini mencetak gol, bukanlah hal yang penting bagi orangtuanya. Hal ini dapat membuat anak merasa sendiri dan tidak dihargai oleh orangtuanya.

Efektif:

Anak       : Pa! Aku tadi bikin gol loh!
Bapak    : Wah, hebat banget! Pasti kamu senang ya! Coba kamu ceritain gimana kejadiannya.”

Dalam contoh ini, sang Bapak menanggapi dengan bersemangat dan menunjukkan minat terhadap cerita sang anak; hal ini mendorong anak untuk menjelaskan dan bercerita lebih lanjut mengenai apa yang ia ungkapkan. Ia menanggapi semangat sang anak dengan sama bersemangatnya. Tanggapan seperti ini akan membuat anak merasa dirinya penting dan diperhatikan. Tanggapan yang menunjukkan empati seperti ini juga akan mengajari anak untuk membaca, memproses, serta menanggapi emosi dan perasaan orang lain dengan lebih baik.

Mengasuh anak bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, dan tidak jarang pula para orangtua melakukan kesalahan. Membangun komunikasi yang efektif dengan anak-anak membutuhkan banyak waktu dan tenaga. Para orangtua perlu senantiasa melihat kembali cara-cara serta pola komunikasi yang mereka jalankan, belajar untuk membedakan cara-cara yang efektif dari cara-cara yang tidak efektif, dan terus mengembangkan kemampuan mereka dalam berkomunikasi demi membesarkan anak-anak yang sehat tidak secara fisik, namun juga secara emosional.

Diterjemahkan dengan perubahan dari:

Melanie Greenberg, Ph.D. (2012). Worst Mistakes Parents Make When Talking to Kids. 
 http://www.psychologytoday.com/blog/the-mindful-self-express/201209/worst-mistakes-parents-make-when-talking-kids, 19 September 2012.



Aug 31, 2012

6 Jalan Memerangi Bullying



Belum lama ini, masyarakat kembali dikejutkan oleh pemberitaan mengenai kasus bullying di salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) swasta terkemuka yang berlokasi di daerah Jakarta Selatan. Tujuh orang siswa baru mengalami berbagai tindak kekerasan seperti ditempeleng, dipukul, dan disundut rokok oleh puluhan senior dan alumni dari sekolah baru mereka tersebut.

Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), sampai dengan Juli 2012 tercatat 36 kasus bullying yang terjadi di lingkungan sekolah. Angka ini masih lebih sedikit dibandingkan dengan kasus bullying yang terjadi di sepanjang tahun 2011, yaitu sebanyak 139 kasus.

Meskipun demikian, masih terjadinya kasus bullying merupakan fenomena yang patut kita waspadai, dan meningkatkan pengetahuan kita mengenai bullying itu sendiri merupakan langkah pertama demi mencegah anak-anak menjadi korban ataupun pelaku bullying.

Pertama-tama, mari kita simak, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan bullying itu?

Apa itu Bullying?

Bullying adalah perilaku yang memanfaatkan kekuatan atau pengaruh yang dimiliki seseorang dengan tujuan mengintimidasi ataupun memaksa orang lain menuruti keinginannya.

Agar dapat dianggap sebagai bullying, perilaku tersebut harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:

  1. Agresif, yaitu bertujuan untuk mendominasi, menguasai, atau menyerang.
  2. Adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dengan korban bullying.
  3. Terjadi secara berulang-ulang (lebih dari satu kali).
Lalu tindakan-tindakan seperti apakah tepatnya yang dapat digolongkan sebagai bullying?

Jenis-Jenis Bullying

Berdasarkan bentuknya, bullying dapat dibagi ke dalam kategori-kategori berikut ini:
  1. Bullying secara verbal, yaitu dengan menggunakan kata-kata, baik secara lisan maupun tulisan. Contoh: menggunakan kata panggilan yang tidak pantas, merendahkan seseorang berdasarkan aspek  tertentu (suku, agama, jenis kelamin, orientasi seksual) menantang, mengancam, dll. 
  2. Bullying secara sosial, yaitu merusak nama baik seseorang atau hubungan seseorang dengan orang lain. Contoh: Mengucilkan dengan sengaja, mempermalukan di depan umum, menyebarkan aib, gosip dan kebohongan mengenai seseorang.
  3. Bullying secara fisik, yaitu dengan menyakiti tubuh atau barang milik seseorang. Contoh: Memukul, menendang, mendorong, meludah, merampas atau merusak barang milik seseorang.
  4. Cyberbullying, yaitu bullying menggunakan media elektronik seperti telepon seluler, pesan singkat, komputer, media sosial, dan laman web. Contoh: memajang gambar atau video yang mempermalukan seseorang, menyebarkan gosip melalui pesan singkat, email atau media sosial, dll.
Cyberbullying berbeda dengan tiga jenis bullying sebelumnya, karena bila bullying jenis lainnya membutuhkan kehadiran korban, cyberbullying dapat terjadi selama 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu, dengan atau tanpa kehadiran korban. Pesan dan gambar dapat disebarkan melalui ponsel dan dimuat di laman web tanpa mengungkapkan identitas pembuat pesan dan dapat dengan cepat mencapai banyak orang. Selain itu, menghentikan penyebaran dan menghapus pesan dan gambar yang sudah disebar melalui ponsel, email, pesan singkat, ataupun dimuat di media sosial dan laman web terkadang sangat sulit untuk dilakukan.

Mengapa Bullying Terjadi?

Bullying dapat terjadi dimana saja, di perkotaan, pedesaan, sekolah negeri, sekolah swasta, di waktu sekolah maupun di luar waktu sekolah. Bullying terjadi karena interaksi dari berbagai faktor yang dapat berasal dari pelaku, korban, dan lingkungan dimana bullying tersebut terjadi.

Pada umumnya, anak-anak korban bullying memiliki salah satu atau beberapa faktor resiko berikut:

  • Dianggap “berbeda”, misalnya memiliki ciri fisik tertentu yang mencolok seperti lebih kurus, gemuk, tinggi, atau pendek dibandingkan dengan yang lain, berbeda dalam status ekonomi, memiliki hobi yang tidak lazim, atau menjadi siswa/siswi baru.
  • Dianggap lemah atau tidak dapat membela dirinya.
  • Memiliki rasa percaya diri yang rendah.
  • Kurang populer dibandingkan dengan yang lain, tidak memiliki banyak teman.

Sedangkan untuk pelaku bullying, Ada beberapa karakteristik anak yang memiliki kecenderungan lebih besar untuk menjadi pelaku bullying, yaitu mereka yang:

  • Peduli dengan popularitas, memiliki banyak teman, dan senang menjadi pemimpin diantara teman-temannya. Mereka dapat berasal dari keluarga yang berkecukupan, memiliki rasa percaya diri tinggi, dan memiliki prestasi bagus di sekolah. Biasanya mereka melakukan bullying untuk meningkatkan status dan popularitas di antara teman-teman mereka.
  • Pernah menjadi korban bullying. Mereka juga mungkin mengalami kesulitan diterima dalam pergaulan, kesulitan dalam mengikuti pelajaran di sekolah, mudah terbawa emosi, merasa kesepian dan mengalami depresi.
  • Memiliki rasa percaya diri yang rendah, atau mudah dipengaruhi oleh teman-temannya. Mereka dapat menjadi pelaku bullying karena mengikuti perilaku teman-teman mereka yang melakukan bullying, baik secara sadar maupun tidak sadar.

Dan berikut merupakan faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan kecenderungan seorang anak untuk menjadi pelaku bullying:

  • Mudah terpengaruh oleh tekanan dan memiliki kecenderungan untuk berperilaku agresif.
  • Memiliki orangtua atau berada dalam lingkungan yang berbudaya otoriter, misalnya menerapkan disiplin lewat hukuman, dan kerap menggunakan kekerasan.
  • Tidak menganggap kekerasan sebagai sesuatu yang negatif.
  • Memiliki teman-teman yang melakukan bullying.
  • Memiliki permasalahan di rumah.
  • Kesulitan mengikuti peraturan. 

Bagaimana Mengidentifikasi Korban dan Pelaku Bullying?

Setiap anak memiliki kemungkinan untuk menjadi pelaku maupun korban bullying, lalu bagaimana cara kita mengetahui apakah seorang anak yang ada di lingkungan kita sedang menjadi korban atau bahkan pelaku bullying? Berikut adalah beberapa tanda-tanda yang dapat kita perhatikan:

Seorang anak mungkin sedang menjadi korban bullying apabila:

  • Mengalami perubahan dalam pola makan, seperti tidak nafsu makan, atau makan berlebih.
  • Adanya luka-luka pada tubuh anak.
  • Sering mengeluh sakit atau berpura-pura sakit.
  • Kesulitan tidur dan sering mengalami mimpi buruk.
  • Merasa tak berdaya dan penurunan rasa percaya diri.
  • Mengasingkan diri dari teman-teman atau pergaulan sosial.
  • Penurunan nilai, kehilangan minat dalam mengerjakan tugas sekolah, atau tidak mau pergi ke sekolah.
  • Rusak atau hilangnya barang barang pribadi anak, seperti pakaian, peralatan sekolah, dan alat elektronik.
  • Munculnya perilaku-perilaku yang menyakiti diri sendiri seperti melarikan diri dari rumah, bicara mengenai bunuh diri, dan melakukan usaha bunuh diri.

Seorang anak mungkin sedang menjadi pelaku bullying apabila:

  • Sering bergaul dengan teman-teman yang melakukan bullying.
  • Seringkali terlibat dalam perkelahian atau adu mulut.
  • Seringkali tidak bertanggungjawab atas perbuatan mereka.
  • Menyalahkan orang lain atas permasalahan mereka.
  • Memiliki uang atau barang-barang baru yang diragukan asal usulnya.
  • Memiliki kekhawatiran yang berlebih terhadap reputasi dan popularitas mereka.

Bila seorang anak memenuhi salah satu atau beberapa kriteria yang disebutkan di atas, maka terdapat kemungkinan ia sedang menjadi korban atau pelaku bullying.

Namun hal itu tidak dapat disimpulkan hanya dengan mempertimbangkan kehadiran faktor-faktor di atas saja. Untuk memastikannya tentu dibutuhkan penyelidikan lebih lanjut, yang dapat dilakukan dengan menanyai anak secara langsung, teman-teman, ataupun guru mereka di sekolah.

Mengapa Bullying Berbahaya?

Bullying memiliki berbagai dampak negatif yang dapat dirasakan oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya, baik pelaku, korban, ataupun orang-orang yang menyaksikan tindakan bullying.

Paparan berikut ini mengungkapkan hasil yang didapatkan dari berbagai penelitian mengenai bullying terhadap anak-anak sekolah yang dilakukan di Amerika Serikat. 


Dampak Terhadap Korban

Korban-korban bullying memiliki kecenderungan lebih besar untuk mengalami:
  • Gangguan depresi dan kecemasan, meningkatnya depresi dan kesepian, perubahan pola makan dan tidur, dan kehilangan minat dalam melakukan hal-hal yang sebelumnya disukai.
  • Berbagai masalah kesehatan, fisik dan psikologis.
  • Penurunan pencapaian akademis dan kehadiran di sekolah, serta meningkatkan kecenderungan anak untuk bolos, tidak naik kelas, bahkan keluar dari sekolah.

Dampak Terhadap Pelaku

Pelaku bullying dapat terlibat dalam berbagai tindak kenakalan dan perilaku berisiko lainnya hingga mereka dewasa nanti. Mereka memiliki kecenderungan lebih besar untuk:
  • Menyalahgunakan alkohol dan obat-obat terlarang di masa yang akan datang.
  • Terlibat perkelahian, tindak perusakan, dan putus sekolah.
  • Terlibat dalam tindak kriminal di waktu dewasa.
  • Berperilaku kasar terhadap pasangan, anak, dan orang-orang lainnya di waktu dewasa.

Dampak Terhadap Saksi

Orang-orang yang menjadi saksi tindak bullying pun tidak terlepas dari dampak negatifnya. Saksi-saksi bullying memiliki kecenderungan lebih besar untuk:
  • Menggunakan tembakau, alkohol, dan obat-obat terlarang.
  • Mengalami gangguan kesehatan mental, seperti depresi dan kecemasan.
  • Bolos sekolah dan tidak naik kelas. 

Berdasarkan paparan di atas, dapat kita lihat bahwa bullying memiliki dampak yang luas terhadap semua orang yang terlibat di dalamnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang.

Oleh karena itu, sudah sewajarnya apabila semua pihak yang terlibat turut memperhatikan dan berperan langsung dalam mencari solusi atas permasalahan ini. Tidak hanya mengandalkan pemerintah dan pihak-pihak yang berwenang, namun sebagai individu dan bagian dari masyarakat, kita juga dapat ikut serta dalam perang melawan bullying.

Perang Melawan Bullying

Dalam rangka mencegah bullying, banyak pihak telah menjalankan program dan kampanye anti bullying di sekolah-sekolah, baik dari pihak sekolah sendiri, maupun organisasi-organisasi lain yang berhubungan dengan anak. Namun, pada nyatanya, bullying masih kerap terjadi di sekolah-sekolah di Indonesia, seperti yang dapat kita amati melalui kejadian baru-baru ini di salah satu SMA swasta yang disebutkan di awal tulisan ini.

Lalu apakah yang dapat kita –sebagai perorangan- lakukan untuk memerangi bullying?
 
1. Membantu anak-anak mengetahui dan memahami bullying

Dengan menambah pengetahuan anak-anak mengenai bullying, mereka dapat lebih mudah mengenali saat bullying menimpa mereka atau orang-orang di dekat mereka. Selain itu anak-anak juga perlu dibekali dengan pengetahuan untuk menghadapi bullying dan bagaimana mencari pertolongan.

Hal-hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pemahaman anak mengenai bullying, diantaranya:
  • Memberitahu pada anak bahwa bullying tidak baik dan tidak dapat dibenarkan dengan alasan maupun tujuan apapun. Setiap orang layak diperlakukan dengan hormat, apapun perbedaan yang mereka miliki.
  • Memberitahu pada anak mengenai dampak-dampak bullying bagi pihak-pihak yang terlibat maupun bagi yang menjadi “saksi bisu”.
2. Memberi saran mengenai cara-cara menghadapi bullying

Setelah diberikan pemahaman mengenai bullying, anak-anak juga perlu dibekali pengetahuan dan keterampilan ketika mereka menjadi sasaran dari bullying agar dapat menghadapinya dengan aman tanpa menggunakan cara-cara yang agresif atau kekerasan, yang dapat semakin memperburuk keadaan.

Cara-cara yang dapat digunakan, misalnya dengan mengabaikan pelaku, menjauhi pelaku, atau menyampaikan keberatan mereka terhadap pelaku dengan terbuka dan percaya diri. Mereka juga dapat menghindari bullying dengan berada di sekitar orang-orang dewasa, atau sekelompok anak-anak lain.

Apabila anak menjadi korban bullying dan cara-cara di atas sudah dilakukan namun tidak berhasil, mereka sebaiknya didorong untuk menyampaikan masalah tersebut kepada orang-orang dewasa yang mereka percayai, baik itu guru di sekolah maupun orangtua atau anggota keluarga lainnya di rumah.

3. Membangun hubungan dan komunikasi dua arah dengan anak

Biasanya pelaku bullying akan mengancam atau mempermalukan korban bila mereka mengadu kepada orang lain, dan hal inilah yang biasanya membuat seorang korban bullying tidak mau mengadukan kejadian yang menimpa mereka kepada orang lain.

Oleh karena itu, sangat penting untuk senantiasa membangun hubungan dan menjalin komunikasi dua arah dengan anak, agar mereka dapat merasa aman dengan menceritakan masalah yang mereka alami dengan orang-orang terdekat mereka, dan tidak terpengaruh oleh ancaman-ancaman yang mereka terima dari para pelaku bullying.

Dalam kehidupan masa kini yang serba sibuk dan penuh aktivitas, semakin sulit bagi para orangtua dan anggota keluarga untuk

4. Mendorong mereka untuk tidak menjadi “saksi bisu” dalam kasus bullying

Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan pada anak-anak sekolah dasar di Kanada, sebagian besar kasus bullying dapat dihentikan dalam 10 detik setelah kejadian tersebut berlangsung berkat campur tangan saksi –anak anak lain yang hadir saat kejadian tersebut berlangsung- misalnya dengan membela korban bullying melalui kata-kata ataupun secara fisik (memisahkan korban dengan pelaku).

Anak-anak yang menyaksikan kasus bullying juga dapat membantu dengan cara:
  • Menemani atau menjadi teman bagi korban bullying, misalnya dengan mengajak bermain atau berkegiatan bersama.
  • Menjauhkan korban dari situasi-situasi yang memungkinkan ia mengalami bullying.
  • Mengajak korban bicara mengenai perlakuan yang ia terima, mendengarkan ia bercerita dan mengungkapkan perasaannya.
  • Apabila dibutuhkan, membantu korban mengadukan permasalahannya kepada orang dewasa yang dapat dipercaya.
5. Membantu anak menemukan minat dan potensi mereka

Dengan mengetahui minat dan potensi mereka, anak-anak akan terdorong untuk mengembangkan diri dan bertemu serta berteman dengan orang-orang yang memiliki minat yang sama. Hal ini akan meningkatkan rasa percaya diri dan mendukung kehidupan sosial mereka sehingga membantu melindungi mereka dari bullying.

6. Memberi teladan lewat sikap dan perilaku

Sebaik dan sebagus apapun slogan, saran serta nasihat yang mereka dapatkan, anak akan kembali melihat pada lingkungan mereka untuk melihat sikap dan perilaku seperti apa yang diterima oleh masyarakat. Walaupun tidak terlihat demikian, anak-anak juga memerhatikan dan merekam bagaimana orang dewasa mengelola stres dan konflik, serta bagaimana mereka memperlakukan orang-orang lain di sekitar mereka.

Apabila kita ingin ikut serta dalam memerangi bullying, hal paling sederhana yang dapat kita lakukan adalah dengan tidak melakukan bullying atau hal-hal lain yang mirip dengan bullying. Disadari maupun tidak, orang dewasa juga dapat menjadi korban ataupun pelaku bullying, misalnya dengan melakukan bullying di tempat kerja, ataupun melakukan kekerasan verbal terhadap orang-orang di sekitar kita.
 
Zaldi Hamdani


Sumber Pustaka

Kronologi "Bullying" di SMA Don Bosco

Komnas PA: Tahun 2011 Bullying di Sekolah 139 Kasus, Tahun Ini 36 Kasus

WHAT IS BULLYING: Bullying Definition

Bullying in school, online, and on the savanna: A guide for the science-minded


Sumber Gambar