Apakah
tepatnya yang dimaksud dengan hukuman? Pada dasarnya, hukuman adalah segala
bentuk konsekuensi tidak menyenangkan yang diberikan sebagai respon atas
perilaku yang tidak diinginkan, dengan maksud mengurangi munculnya atau
menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan tersebut.
Hukuman
memang dapat mengubah cara seorang berperilaku, namun berbagai penelitian
membuktikan bahwa efektifitas hukuman sangat bervariasi, dan hukuman bukan
merupakan solusi yang ideal untuk mengajarkan anak mengenai tata cara berperilaku
yang baik.
Bagi
sebagian orang, menghukum dengan cara mencubit, memukul, menjewer, mengikat,
membentak dan memarahi anak dianggap sebagai hal yang wajar. Hal ini didukung
oleh pandangan bahwa anak adalah milik orang tua, sehingga anak harus hormat
dan tunduk pada perintah dan keinginan orang tua. Pandangan tersebut seolah
menjadi pembenaran atas maraknya pemberian hukuman yang dapat dengan mudah
berkembang menjadi kekerasan dan berpengaruh buruk terhadap perkembangan fisik,
mental, dan psikologis anak.
Dampak
negatif ini tidak saja berlaku untuk hukuman-hukuman “tradisional”, yaitu yang bersifat
fisik (mencubit, memukul, menampar, mengikat, mengurung, dll) maupun non-fisik
(membentak, memarahi, merendahkan, mempermalukan, dll), namun juga dapat
berlaku bagi hukuman dalam bentuk lainnya, bila tidak disertai penjelasan yang
memadai dan pemahaman dari anak yang mendapatkan hukuman. Lalu apa sajakah
dampak buruk yang mungkin muncul akibat pemberian hukuman?
Dampak Buruk Pemberian Hukuman
1. Tidak mengajarkan tata cara
berperilaku yang baik
Saat
digunakan sendiri, hukuman tidak mengajarkan perilaku yang baik, karena hanya
mengajarkan apa yang tidak boleh dilakukan, bukan apa yang sebaiknya dilakukan.
2. Menciptakan jarak antara anak
dan orang yang memberikan hukuman
Anak
yang dihukum cenderung menghindari orang yang menghukum mereka dan situasi
dimana hukuman tersebut diberikan. Hal ini tentu akan mempersulit orang tua dan
para guru di sekolah untuk membina hubungan baik dan mendidik anak-anak. Anak-anak
pun dapat menyimpan rasa takut, rasa kesal dan kebencian terhadap orang-orang yang
menghukum mereka.
3. Hukuman seringkali hanya
menekan, bukan menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan
Anak
yang dihukum belajar untuk tidak mengulangi perilaku yang dihukum, namun juga
bahwa perilaku tersebut dapat diulangi bila kemungkinan ia dihukum atas
perilaku tersebut mengecil. Karena hukuman hanya mengajarkan apa yang tidak
boleh dilakukan dan berbagai cara untuk
menghindar dari hukuman, maka orang yang dihukum hanya menghentikan perilaku
tersebut sampai ia berhasil menghindari hukuman atau ketika ia merasa bahwa kepuasan
yang didapat dengan melakukan perilaku tersebut dinilai setimpal dengan hukuman
yang mungkin diterima.
4. Munculnya berbagai hambatan dalam
berperilaku
Anak
yang menerima hukuman belajar bahwa salah satu cara menghindari hukuman adalah
dengan tidak melakukan apapun yang menyerupai tindakan yang dihukum. Ini dapat
membuat anak jadi takut mencoba hal-hal baru, takut berinisiatif dan takut
salah, karena kesalahan berarti hukuman. Anak pun akan belajar untuk berbohong
demi menghindari hukuman, hal ini akan menyulitkan dalam mendidik anak mengenai
kejujuran.
5. Menjadi contoh yang buruk
Seorang
anak yang kerap menyaksikan orang dewasa menyelesaikan permasalahan dengan
hukuman akan belajar untuk menggunakan hukuman untuk menyelesaikan
permasalahannya sendiri. Hal ini terutama berbahaya bila hukuman tersebut
berupa pukulan, tamparan, ataupun kekerasan verbal.
6. Munculnya rasa kesal, dan
keinginan untuk membalas pada anak
Anak
yang sering mendapatkan hukuman secara tidak adil kemungkinan besar akan merasa
kesal terhadap orang yang memberikan hukuman. Hal ini tergantung pada tingkat
kedewasaan anak, jenis hukuman yang diberikan, dan seberapa besar ia
menyalahkan pemberi hukuman atas kondisinya. Seorang anak dapat menyimpan rasa
kesal dan keinginan untuk membalas dendam terhadap orang yang menghukumnya. Bila
anak tidak dapat menyalurkan kekesalan tersebut, maka ia dapat mengalihkannya
kepada orang lain, misalnya dengan bersikap agresif ataupun melakukan kekerasan
kepada orang lain.
7. Memicu penilaian diri yang
negatif
Konsep
diri seseorang tergantung pada bagaimana mereka menilai diri mereka sendiri,
dan penilaian ini terutama berasal dari orang-orang terdekat mereka, seperti
keluarga (orangtua, saudara), teman, dan orang-orang yang mereka temui setiap
hari. Anak-anak yang sering mendapatkan hukuman -terutama jika mereka tidak memahami kesalahan
yang di lakukan- akan mengembangkan penilaian diri yang negatif. Mereka akan
menjadi rendah diri dan tidak percaya akan kemampuan yang mereka miliki.
Hukuman dan Penguatan
Apabila
perilaku yang tidak diinginkan perlu diberi konsekuensi negatif, yaitu hukuman,
maka perilaku yang baik perlu diberi konsekuensi positif, atau penguatan.
Penguatan
adalah pemberian konsekuensi yang menyenangkan atas sebuah perilaku dengan
tujuan meningkatkan kemungkinan diulanginya perilaku tersebut. Penguatan dapat
berupa pemberian hadiah, pemberian hak tambahan, pujian, ucapan rasa terima
kasih, dan lain lain.
Untuk
mengajarkan anak mengenai tata cara berperilaku yang baik, dibutuhkan
keseimbangan antara pemberian hukuman dengan penguatan. Meskipun
demikian, penguatan juga dapat memiliki efek buruk, yaitu ketamakan, materialisme,
dan ketergantungan akan adanya “hadiah” setiap kali anak melakukan hal yang baik.
Namun, efek buruk itu tergantung pada bagaimana hukuman atau penguatan tersebut diberikan, bukan pada hukuman atau penguatan itu sendiri. Beberapa peneliti bahkan menemukan bahwa hukuman baru akan efektif jika diberikan setiap kali anak menunjukkan perilaku yang tidak diinginkan, sebaliknya penguatan akan efektif jika diberikan sesekali saja.
Namun, efek buruk itu tergantung pada bagaimana hukuman atau penguatan tersebut diberikan, bukan pada hukuman atau penguatan itu sendiri. Beberapa peneliti bahkan menemukan bahwa hukuman baru akan efektif jika diberikan setiap kali anak menunjukkan perilaku yang tidak diinginkan, sebaliknya penguatan akan efektif jika diberikan sesekali saja.
Pemberian Hukuman yang Efektif
Lalu
bagaimana caranya memberikan hukuman yang efektif dengan meminimalisir dampak
negatifnya?
1. Tidak menghadapi anak dengan
emosional
Betapapun
besarnya kesalahan yang dilakukan anak, hal terpenting yang perlu diingat
adalah agar tidak bersikap emosional. Bila perlu, tenangkan diri dulu sebelum
mencoba menegur anak atas kesalahannya. Dengan bersikap tenang, anak pun akan
lebih mudah bersikap terbuka.
2. Tidak menggunakan hukuman “tradisional”
Dulu,
hukuman fisik dianggap sebagai sesuatu yang wajar untuk mengajarkan disiplin
pada anak. Pada kenyataannya, berbagai penelitian menemukan bahwa
hukuman-hukuman yang berpotensi melukai anak, baik secara fisik ataupun
emosional, yaitu dengan memarahi, membentak, menyindir, meremehkan, menggunakan
kata-kata kasar, dan lain lain, dapat memicu timbulnya berbagai gangguan
psikologis pada anak, diantaranya gangguan kecemasan, depresi, rendah diri, dan
perilaku agresif.
Ada
banyak macam hukuman yang bisa diberikan tanpa harus menyakiti anak, misalnya mengambil
hak tertentu dari anak (misalnya hak untuk menonton televisi dan bermain di
luar rumah). Tentu saja hukuman ini harus berhubungan dengan pelanggaran yang
dilakukan anak, dan anak pun harus diberikan penjelasan dan pengertian mengenai
mengapa dia mendapatkan hukuman tersebut dan apa tujuan pemberian hukuman
tersebut.
3. Memastikan yang dihukum adalah
perilaku, bukan orangnya
Hukuman
tidak boleh diberikan atau dipandang oleh anak sebagai serangan terhadap
dirinya. Tidak ada gunanya menyebut seseorang dengan sebutan “anak nakal”,
“anak manja”, “anak pemalas”. Kata-kata itu akan dianggap sebagai serangan
pribadi dan membuat penerima hukuman bersikap defensif dan tertutup. Ditambah
lagi, pemberian cap seperti “anak nakal”, “anak manja”, dan “anak pemalas” akan
membuat anak percaya bahwa ia memang seperti itu, dan mengurangi kemungkinan
anak untuk mengembangkan diri menjadi lebih baik.
Untuk
mengatasi hal ini, pastikan bahwa anak yang Anda hukum mengerti bahwa Anda
menganggapya sebagai orang yang berharga dan layak dicintai, yang mampu
melakukan perbuatan yang Anda harapkan, meskipun tindakan yang baru saja ia
lakukan tidak pantas.
Satu
hal yang dapat dilakukan adalah memberikan kesempatan pada anak yang baru
dihukum untuk melakukan aktivitas yang menyenangkan tidak lama setelah Anda
menghukumnya, sehingga Anda bisa mengungkapkan rasa sayang dan penghargaan Anda
terhadapnya, dan ia tidak kehilangan rasa percaya dirinya.
4. Sebutkan dengan jelas kesalahan
yang dilakukan
Anak
tidak boleh dibiarkan menerka-nerka mengenai kesalahan yang ia lakukan.
Meskipun pemberian hukuman tidak perlu selalu diikuti dengan “ceramah”, namun
pemberian penjelasan perlu dipertimbangkan apabila keadaannya tidak jelas atau
terdapat kemungkinan anak tidak mengerti alasan ia mendapatkan hukuman.
5. Berikan hukuman pada waktu
yang tepat
Bila
Anda melihat seorang anak berniat melakukan tindakan yang tidak diinginkan
(misalnya: memukul adik), maka peringati ia dan bila perlu, berilah hukuman
sebelum ia melakukan tindakan tersebut (tentu saja Anda harus yakin terlebih
dahulu bahwa ia memang akan melakukan hal tersebut).
Apabila
Anda menunggu hingga ia menyelesaikan tindakannya, maka hukuman yang diberikan
pun harus lebih berat, dan harus ber”saing” dengan kepuasan yang ia dapatkan
akibat tindakan tersebut (misalnya: membuat adik menangis akibat dipukul).
Pengecualian
terhadap hal ini adalah bila ada kemungkinan munculnya konsekuensi alami
setelah anak melakukan perilaku tersebut. Apabila konsekuensi alami tersebut
tidak membahayakan, maka ada baiknya membiarkan anak merasakan sendiri
konsekuensi alami yang muncul akibat tindakannya. Konsekuensi alami merupakan
hukuman yang terbaik karena terjadi secara alami dan tidak dibuat-buat oleh
orang lain.
6. Sesuaikan hukuman dengan
pelanggaran
Pada
praktiknya hal ini cukup sulit dilakukan, karena baik pemberi maupun penerima
hukuman cenderung salah menilai tingkat keparahan hukuman yang diberikan atau
pelanggaran yang dilakukan.
Bila
hukuman terlalu ringan, kepuasan yang didapatkan anank akibat melakukan
tindakan yang dihukum akan dianggap setimpal dengan hukumannya. Namun bila hukuman
terlalu berat, ada kemungkinan munculnya perilaku menghindar atau keinginan
untuk membalas terhadap pemberi hukuman.
7. Sesuaikan hukuman dengan usia,
tingkat kematangan dan karakter anak
Hukuman
yang diberikan kepada anak berusia 3 tahun tentu seharusnya berbeda dengan
hukuman yang diberikan kepada remaja yang menginjak usia 17 tahun. Begitu juga
dengan menghadapi anak yang berperangai keras tentu perlu dibedakan dengan anak
yang berperangai lembut.
8. Pastikan bahwa hukuman yang diberikan
adalah hal yang tidak menyenangkan bagi orang yang dihukum
Efektifitas
sebuah hukuman tergantung pada seberapa anak yang mendapatkan hukuman tersebut
menganggapnya tidak menyenangkan. Apa yang dianggap sebagai hukuman oleh
seseorang belum tentu dianggap sama oleh orang lain. Dan bahkan banyak hal yang
kita pikir adalah hukuman bagi anak-anak ternyata justru merupakan penguatan
atas perilaku mereka.
Contoh:
Rudi
adalah murid yang disukai banyak teman-temannya. Ia sering mendapatkan hukuman
dari guru karena mengganggu ketertiban kelas dengan lelucon-leluconnya saat
kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung . Akibatnya, ia dikeluarkan dari
kelas dan diminta menunggu di luar ruangan. Namun para guru tidak menyadari
bahwa Rudi senang dikeluarkan dari kelas, karena ia tidak perlu mengikuti
pelajaran yang menurutnya membosankan. Dengan demikian, hukuman yang diberikan
kepada Rudi tidak tepat, karena Rudi tidak menganggap hukuman tersebut sebagai
hal yang tidak menyenangkan, dan hukuman
tersebut justru menguatkan perilaku Rudi.
9. Biarkan konsekuensi alami
terjadi apabila memungkinkan
Konsekuensi
alami adalah konsekuensi yang tidak dibuat atau dikendalikan oleh orang lain.
Kelebihannya adalah konsekuensi alami tidak membutuhkan adanya orang yang
memberikan hukuman, sehingga anak hanya dapat menerima dan tidak dapat
mengalihkan kekesalan akibat konsekuensi tersebut kepada orang lain.
Contoh:
Bobi
bersepeda di dalam rumah, tanpa sepengetahuan orangtuanya ia mencoba menuruni
tangga dengan sepedanya. Akibatnya ia terjatuh dan terluka. Orangtuanya tidak
perlu lagi mengingatkan Bobi untuk tidak bersepeda menuruni tangga, karena Bobi
sudah tahu apa yang mungkin terjadi bila ia mencoba melakukannya lagi.
Kelemahan
konsekuensi alami adalah adanya kemungkinan konsekuensi alami tidak terjadi,
merujuk pada kasus di atas, mungkin saja Bobi berhasil menuruni tangga dengan sepeda
tanpa terjatuh.
10. Gunakan konsekuensi logis bila
konsekuensi alami terlalu berbahaya, atau belum bisa dipahami oleh anak
Konsekuensi
logis adalah konsekuensi yang sengaja dibuat oleh seseorang yang memiliki
otoritas (misalnya: orangtua). Konsekuensi logis dapat digunakan untuk mencegah
anak melakukan perilaku yang tidak diinginkan, atau membuat anak memperbaiki
kesalahan yang timbul akibat perilaku yang tidak diinginkan tersebut.
Contoh:
Seorang
anak acap kali tidak mematuhi permintaan orangtuanya untuk pulang ke rumah
sebelum makan malam. Konsekuensi alaminya adalah orangtua menjadi khawatir,
semua menjadi terlambat makan malam, makanan menjadi dingin, anak yang
terlambat pulang harus makan malam sendirian, dan ibu tidak dapat membereskan
meja makan sebelum anaknya pulang. Konsekuensi-konsekuensi tersebut belum tentu
dianggap penting oleh anak-anak. Untuk mengatasi hal ini, orangtua dapat
memberikan konsekuensi logis, baik untuk mencegah ataupun memperbaiki perilaku
anak tersebut.
Pencegahan : Selama beberapa hari, tidak mengizinkan
anak keluar rumah sepulang sekolah. Namun anak diberikan kelonggaran seperti
diajak bermain oleh orangtua, boleh mengajak teman ke rumah, boleh menonton
televisi atau kegiatan menyenangkan lainnya.
Perbaikan : Sebagai konsekuensi pulang larut,
anak diminta untuk membereskan meja makan dan mencuci piring sendiri. Hal ini
merupakan konsekuensi tidak menyenangkan yang mengajarkan anak untuk
bertanggungjawab atas tindakannya, dalam hal ini pulang larut.
11. Bila memungkinkan, gunakan
hukuman bersamaan dengan penguatan
Dengan
begitu, Anda tidak hanya memberitahu anak apa yang tidak boleh dilakukan, tapi
juga apa yang boleh dilakukan.
Contoh:
Bobo
dilarang pergi bermain keluar rumah bila kamarnya berantakan. Ia dapat didorong
untuk menjadi lebih rapi dan teratur dengan cara-cara sebagai berikut:
a.
Bobo diizinkan keluar rumah bila kamarnya sudah selesai ia rapikan.
b.
Orangtua dapat memberi pujian kepada Bobo atas kesediaannya merapikan kamar.
c.
Bobo dapat diberi hadiah atau hak tambahan sebagai bentuk apresiasi atas
kerapian kamarnya.
Membentuk
perilaku anak memang tidak sederhana ataupun mudah, dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Hal terpenting untuk
diingat adalah bahwa tujuan pemberian hukuman kepada anak adalah untuk mendidik
mereka menjadi manusia yang lebih baik, yang mampu menghargai diri mereka
sendiri, orang lain dan lingkungan dimana mereka tinggal. Maka
dari itu, cara-cara yang berpotensi menyakiti anak secara fisik maupun
emosional sebisa mungkin ditinggalkan, dan beralih menggunakan cara-cara yang
lebih manusiawi.
Hal ini sesuai dengan pandangan yang diungkapkan oleh Gandhi, bahwa
untuk mendapatkan hasil yang baik, kita harus menggunakan cara-cara yang baik
pula. Anak-anak
bukan hanya penerus garis keturunan keluarga, namun mereka juga merupakan masa depan
bangsa, dan masa depan mereka tergantung pada pendidikan yang mereka dapatkan
di masa kini.
Zaldi
Hamdani
Negative Side Effects of
Punishment
To Punish or Not
To Punish
The Effects of Punishment on Children
Sumber Gambar
www.sergapntt.com
www.mommymdguides.com
www.anakbersinar.com
www.jezebel.com
subhanallah
ReplyDeleteSetuuujuuu.....www.nawalgrosir.com
ReplyDelete