Sep 21, 2012

4 Kesalahan Umum dalam Komunikasi Orangtua dengan Anak


Membesarkan anak merupakan salah satu peran yang paling menantang untuk dijalankan para orangtua. Perbedaan pandangan dan kesalahpahaman mengenai cara-cara yang baik dalam membesarkan anak dapat berujung pada pengasuhan dan pola komunikasi yang kurang efektif antara orangtua dengan anak.

Sebagian orangtua menggunakan pola asuh “otoriter”, dimana anak lebih banyak diarahkan dan tidak banyak diberi kesempatan untuk berkreasi dan membuat pilihan sendiri. Sebagian lagi melakukan sebaliknya, mereka bersikap “permisif” dengan terlalu banyak memberikan kebebasan kepada anak dan kurang memberikan batasan yang jelas. Penelitian menunjukkan bahwa kedua jenis pola asuh tersebut dapat berdampak buruk terhadap perkembangan emosional mereka dan dapat menyulitkan mereka dalam membina hubungan yang sehat saat mereka dewasa nanti.

Pola asuh yang ideal adalah dimana orangtua dapat bersikap adil, menghargai, luwes, dan menjadikan pembelajaran sebagai tujuan utama, bukan sekedar menuntut kepatuhan dari anak. Mendengarkan dan menghargai perasaan anak, mengizinkan anak membuat keputusan sendiri, dan di saat yang sama menetapkan batasan-batasan yang jelas serta konsekuensi yang tegas dan adil terhadap perilaku-perilaku yang tidak diinginkan.

Tulisan ini akan memberikan beberapa contoh komunikasi yang kurang efektif antara orangtua dengan anak dan memberikan contoh lain yang lebih tepat dalam mengungkapkan pesan yang hendak disampaikan.


1. Terlalu Banyak Bicara

Penelitian menunjukkan bahwa otak manusia memiliki kemampuan yang terbatas dalam menyimpan informasi pada waktu yang bersamaan. Menyampaikan terlalu banyak hal pada waktu yang bersamaan akan membuat anak bingung, sehingga mereka akan berhenti mendengarkan dan memperhatikan apa yang dikatakan orangtua mereka.

Tidak Efektif:

“Apa kamu yakin masih mau aktif di klub sepakbola itu? Sekarang aja kamu udah les Matematika dan Bahasa Inggris tiap hari untuk persiapan Ujian Nasional. Kalo kamu masih mau ikut klub sepakbola itu, berarti kamu baru bisa ikut les nya setelah latihan, padahal perjalanan dari tempat latihan ke rumah 30 menit, belum lagi kalo macet, bisa sampe 1 jam..”

Pernyataan diatas menyampaikan terlalu banyak informasi, yang dapat membuat anak bingung akan arah dan maksud pembicaraan tersebut. Pernyataan tersebut juga cenderung bersifat negatif karena menyampaikan kecemasan dan keraguan tanpa maksud dan tujuan yang jelas, hal ini dapat membuat anak bingung dalam memberikan tanggapan. Akan lebih baik apabila pesan disampaikan secara bertahap agar lebih mudah dicerna, tidak menyampaikan semua informasi dalam waktu yang bersamaan, mengajak anak berdialog untuk menemukan solusinya, dan memberikan kesempatan pada anak untuk mengungkapkan apa yang ia inginkan.

Efektif:

“Kalau kamu masih mau aktif di klub sepakbola semester ini, berarti kamu baru bisa ikut les untuk Ujian Nasional di malam hari. Ayo kita pikirin dan bicarain sama-sama untuk melihat apa kamu sanggup melakukan kedua kegiatan itu.”

Dalam contoh ini, orangtua menyampaikan pesannya dalam dua kalimat, yang membuat anak lebih mudah menangkap pesan yang disampaikan, yaitu berdiskusi mengenai kegiatan yang ia jalani. Hasil yang diharapkan pun jelas, yaitu untuk melihat apakah anak sanggup menjalankan kedua kegiatan tersebut secara bersamaan. Dengan mengajak anak berdiskusi, maka orangtua manyampaikan keinginan mereka untuk membantu anak dalam menemukan solusi atas permasalahan yang ia hadapi.



2. Mengomeli dan Memperingati Secara Berulang Ulang

Kebanyakan orangtua mengalami masalah dalam mendorong anak mereka untuk melakukan hal-hal tertentu, seperti mengerjakan pekerjaan rumah, mandi dan berpakaian untuk sekolah, merapikan kamar. Banyak orangtua yang akhirnya mencoba mengendalikan keadaan dengan mengomeli dan memperingati anak secara berulang-ulang. Masalahnya, memberikan omelan dan peringatan yang berulang-ulang justru melatih anak untuk bersikap tidak acuh, karena mereka tahu mereka masih akan diingatkan lagi nantinya. Anak-anak yang masih kecil memang masih membutuhkan banyak bimbingan dan arahan, namun seiring dengan bertambahnya usia mereka, mereka juga perlu diberikan lebih banyak kepercayaan dan tanggung jawab.

Tidak Efektif:

“Ayo bangun sekarang, siap-siap, nanti kamu terlambat lagi nyampe sekolah. Buku pelajaran hari ini udah disiapin? Seragam buat hari ini udah kamu siapin?”

Sepuluh menit kemudian

“Kamu ini kok udah dibilangin malah masih tidur-tiduran? Nanti Papa juga terlambat. Cepet sana mandi dan siap-siap.”

Sepuluh menit kemudian

“Loh kok masih nyiapin buku? Harusnya kan dari semalem udah kamu siapin! Terlambat lagi deh.”

Dan seterusnya.

Dalam contoh diatas, sang Bapak terlalu banyak mengambil tanggung jawab anaknya, dan secara tidak langsung memberikan kesan bahwa sang anak tidak dapat mengatasi keadaan tersebut tanpa diperintah dan diarahkan. Hal ini dapat membuat anak menjadi kurang percaya diri dan mengembangkan ketergantungan yang berlebihan. Cara bicaranya pun cenderung bernada negatif dan menyerang, sehingga dapat memicu kekesalan bahkan perlawanan dari anak.

Efektif:

“Kita berangkat 30 menit lagi ya. Kalau kamu belum siapin semua keperluan kamu untuk sekolah, nanti kamu yang harus jelasin ke guru kamu.”

Melalui pernyataan tersebut, orangtua menyampaikan arahan yang singkat dan jelas, yang bernada netral dan bebas dari penilaian terhadap anak. Orangtua juga mengajarkan anak untuk mandiri dan bertanggung jawab atas perilaku mereka dengan menyampaikan konsekuensi logis yang harus dihadapi anak apabila ia tidak siap pada waktunya.



3. Menggunakan Rasa Bersalah dan Malu Untuk Mendapatkan Kepatuhan

Satu hal yang seringkali dilupakan banyak orangtua adalah anak-anak tidak secara alami memiliki empati dan pengertian terhadap keinginan dan kebutuhan orang lain, termasuk orangtua mereka sendiri. Mereka mengembangkan kemampuan tersebut secara perlahan seiring dengan bertambahnya usia mereka, dan dengan teladan dari orang lain. Dengan demikian, mengharapkan anak untuk dapat menempatkan diri dalam posisi orangtua mereka merupakan hal yang kurang masuk akal.

Kebanyakan orangtua memiliki banyak pekerjaan dan kesibukan lain selain menjadi orangtua, sehingga seringkali mereka lupa memperhatikan kebutuhan mereka sendiri, dan melampiaskan kekesalan tersebut kepada orang lain, termasuk anak. Sangat penting bagi para orangtua untuk tidak membiarkan hal-hal tersebut mempengaruhi komunikasi mereka dengan anak.

Tidak Efektif:

“Bukannya mama udah sering ingetin kamu untuk rapiin barang-barang kamu sendiri, ini kok mainan kamu berceceran di ruang tamu?!  Kamu ngga tau apa mama udah capek ngurusin rumah seharian? Masak buat kamu, nyuci pakaian, nyapu, ngepel, masa mama harus beresin kamar kamu juga, kaya anak kecil aja! Kenapa sih gitu aja ga bisa?”

Pernyataan diatas bernada menyalahkan dan merendahkan sang anak. Walaupun kegusaran sang Ibu dapat dipahami, menyalahkan dan menilai anak sebagai “anak kecil” yang tidak bertanggung jawab dan “tidak mampu” melakukan sesuatu dapat mengembangkan rasa rendah diri dan tidak percaya diri pada anak. Dengan dinilai seperti itu, anak akan merasa bahwa dirinya tidak cukup baik untuk diterima oleh orangtuanya sendiri. Seharusnya, yang menjadi fokus adalah perilaku yang tidak diinginkan, bukan anak itu sendiri.

Efektif:

“Mama lihat mainan-mainan kamu masih ada di ruang tamu,  dan itu membuat mama kecewa. Mama pingin rumah dalam keadaan rapi dan bisa jadi tempat yang nyaman buat semuanya. Hari ini mama simpan dulu ya mainannya, besok boleh kamu ambil lagi setelah kamu rapiin semuanya.”

Dalam pernyataan diatas, sang Ibu mengungkapkan dengan jelas perasaan dan keinginannya, tanpa memarahi, menyalahkan, ataupun memberikan penilaian terhadap anak. Ia pun memberikan hukuman yang ringan dan memberi kesempatan pada anak untuk memperbaiki kesalahnnya.


4. Tidak Mendengarkan

Semua orangtua ingin agar anak-anak mereka mampu menghargai dan menghormati orang lain. Cara terbaik untuk mencapainya adalah dengan menjadi teladan bagi mereka dengan memberi contoh lewat perilaku dan perkataan sehari-hari. Hal ini mengembangkan kemampuan mereka untuk berkomunikasi dengan efektif dan berempati terhadap orang lain.

Mendengarkan seringkali merupakan hal yang sulit dilakukan para orangtua, karena kesibukan ataupun hal-hal lain yang menyita pikiran mereka. Dalam keadaan tersebut, akan lebih baik bila orangtua untuk berkata: “Papa cape nih, baru pulang kerja, nanti ya kamu ceritain setelah papa mandi”. Lebih baik menunda percakapan untuk beberapa saat dibandingkan mendengar dengan setengah hati. Namun penundaan tersebut sebaiknya tidak lama, karena anak-anak dapat kehilangan minat mereka untuk bercerita.

Tidak Efektif:

Anak       : Pa! Aku tadi bikin gol loh!
Bapak    : (Sambil melihat dan mengetik di telepon genggamnya) Wah, hebat kamu nak. Kamu udah selesai ngerjain PR belum?

Mendengarkan secara efektif juga melibatkan aspek-aspek non-verbal, seperti menjaga kontak mata, menyampaikan pemahaman dengan wajah dan intonasi suaram dan menggunakan kata-kata untuk mengungkapkan pemahaman kita. Dalam contoh di atas, sang Bapak secara tidak langsung mengajari anak untuk tidak mengganggunya, dan bahwa hal-hal yang penting bagi sang anak, dalam hal ini mencetak gol, bukanlah hal yang penting bagi orangtuanya. Hal ini dapat membuat anak merasa sendiri dan tidak dihargai oleh orangtuanya.

Efektif:

Anak       : Pa! Aku tadi bikin gol loh!
Bapak    : Wah, hebat banget! Pasti kamu senang ya! Coba kamu ceritain gimana kejadiannya.”

Dalam contoh ini, sang Bapak menanggapi dengan bersemangat dan menunjukkan minat terhadap cerita sang anak; hal ini mendorong anak untuk menjelaskan dan bercerita lebih lanjut mengenai apa yang ia ungkapkan. Ia menanggapi semangat sang anak dengan sama bersemangatnya. Tanggapan seperti ini akan membuat anak merasa dirinya penting dan diperhatikan. Tanggapan yang menunjukkan empati seperti ini juga akan mengajari anak untuk membaca, memproses, serta menanggapi emosi dan perasaan orang lain dengan lebih baik.

Mengasuh anak bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, dan tidak jarang pula para orangtua melakukan kesalahan. Membangun komunikasi yang efektif dengan anak-anak membutuhkan banyak waktu dan tenaga. Para orangtua perlu senantiasa melihat kembali cara-cara serta pola komunikasi yang mereka jalankan, belajar untuk membedakan cara-cara yang efektif dari cara-cara yang tidak efektif, dan terus mengembangkan kemampuan mereka dalam berkomunikasi demi membesarkan anak-anak yang sehat tidak secara fisik, namun juga secara emosional.

Diterjemahkan dengan perubahan dari:

Melanie Greenberg, Ph.D. (2012). Worst Mistakes Parents Make When Talking to Kids. 
 http://www.psychologytoday.com/blog/the-mindful-self-express/201209/worst-mistakes-parents-make-when-talking-kids, 19 September 2012.



1 comment:

  1. Terlalu banyak bicara ternyata merupakan salah satu kesalahan umum dalam komunikasi orang tua dengan anak. Terima kasih untuk informasi mengenai kesalahan umum dalam komunikasi orang tua dengan anak.

    ReplyDelete