Sejenak melihat judul diatas, saya teringat pada sebuah sinetron keluarga dikala tahun 90-an waktu itu. Sinetron tersebut menceritakan sebuah kisah keluarga dengan berbagai kondisi keluarga tersebut, mereka tetap bersabar, ceria dan penuh syukur, sinetron itu berjudul “Keluarga Cemara” dan tentu sangat akrab di telinga anak-anak yang berada di era 90-an. Sinetron yang diambil dari novel karya Arswendo Atmowiloto ini menarik perhatian masyarakat karena kesan yang dimunculkan dalam sinetron tersebut sangat natural, apa adanya dan tidak jauh dari nilai-nilai serta tata krama bangsa Indonesia. Saya ingat dikala itu, saya bersiap ketika sinetron tersebut akan ditayangkan, karena saya ingin ikut menyanyikan lagu tema sinetron tersebut yang syairnya juga dituliskan oleh Arswendo Atmowiloto sendiri.
Demikian lirik lagunya;
Harta yang paling berharga adalah
keluarga,
Istana yang paling indah adalah keluarga,
Istana yang paling indah adalah keluarga,
Puisi yang paling bermakna adalah
keluarga,
Mutiara tiada tara adalah keluarga,
Mutiara tiada tara adalah keluarga,
Selamat pagi abah, selamat pagi
emak,
Mentari hari ini berseri indah,
Mentari hari ini berseri indah,
Terima kasih abah, terima kasih emak,
Restu sakti perkasa bagi kami putra putri yang siap berbakti.
Yah, benar sekali, Anda dan saya
masih mengingat jelas lirik lagu ini, yang sangat kental diingatan masyarakat.
Anak-anak khususnya, mereka pasti akan berada didepan TV ketika sinetron ini
ditayangkan, karena tayangan lainnya lebih didominasi oleh kartun-kartun yang
berasal dari luar Indonesia.
Arswendo didalam novelnya tentu
ingin mengingatkan kembali kepada seluruh masyarakat Indonesia, mengenai keindahnya
dalam kesederhanaan sebuah keluarga, yang kemudian dijadikan sebuah sinetron untuk
dapat dinikmati oleh seluruh penonton Indonesia. Kita harusnya berterima kasih
bahwa seorang putra bangsa Indonesia telah berdedikasi untuk memberikan sebuah
tontonan yang positif dan sekaligus mengkampanyekan bagaimana sebuah keluarga
Indonesia yang selalu bersyukur, sabar dan tetap ceria menjalani kehidupannya.
Keluarga merupakan institusi
terkecil yang menjalankan berbagai aspek kehidupan,
termasuk pendidikan, sosial, dan ekonomi. Menurut Salvicion dan Celis (1998) di
dalam keluarga terdapat dua atau lebih dari dua pribadi yang tergabung karena
hubungan darah,
hubungan perkawinan atau pengangkatan, hidup dalam satu rumah tangga,
berinteraksi satu sama lain dengan peran mereka masing-masing dan menciptakan
serta mempertahankan suatu kebudayaan. Oleh karena itu, keluarga merupakan pilar utama
dan terdepan dalam pembentukan karakter setiap orang, karena seseorang akan
berinteraksi dengan dunia luar setelah ditempa atau mendapat didikan dari
keluarganya.
Hal inilah yang perlu
mendapat perhatian khusus dari keluarga, karena peranan penting yang dimiliki
dalam mendidik anggota keluarganya, terkhusus anak. Selain itu juga ada sebuah
istilah lain yang dikenal dengan keluarga
besar (extended family) yang
definisinya adalah unit sosial yang terdiri dari orang tua, anak-anak dan
relasi lain yang lebih jauh; mungkin termasuk juga kakek, nenek, paman dan bibi
yang tinggal di bawah satu atap. Istilah ini saat ini lebih banyak digunakan
untuk menggambarkan hubungan yang agak longgar dimana keluarga batih (nuclear family) terus berhubungan dengan
keluarga yang lebih besar melalui berbagai cara, tetapi tidak membentuk sebuah
rumah tangga tunggal. Bentuk keluarga yang khas dalam masyarakat modern dengan
demikian bukanlah keluarga inti yang terisolasi melainkan keluarga besar yang
termodifikasi
Sebagai contoh,
pertalian antara anggota-anggota keluarga besar yang termodifikasi di Inggris
modern diselenggarakan dalam beberapa cara-kontak yang terus berlanjut, dimana
arus dukungan dan keterkaitan emosional pada keluarga yang lebih besar,
khususnya berkelanjutan ikatan orang tua – anak. Studi baru-baru ini telah
menemukan bahwa sepertiga dari orang dewasa hidup sejauh 15 menit perjalanan
dari ibu mereka dan tidak kurang dari 65 persen hidup dalam jarak 1 jam
perjalanan. Secara umum kedekatan geografis itu juga berarti bahwa
anggota-anggota keluarga benar-benar berjumpa satu sama lain. Sekitar setengah
dan hampir tiga perempat minimal sebulan sekali. Keluarga juga terus berfungsi
sebagai sumber dukungan praktis dan emosional. Bagi mereka yang menerima
bantuan praktis, misalnya pada saat sakit, hampir setengah berasal dari orang
tua dan kurang dari 10 persen dari teman-teman. Jaringan kekerabatan bahkan
lebih berperan dalam hal pemberian hadiah atau pinjaman uang. Untuk arus
dukungan ke arah lain sekitar dua dari lima orang dewasa memberikan perawatan,
umumnya kepada orang tua. Terakhir, jelas ditunjukkan oleh survei-survei sikap
anggota keluarga besar dalam kehidupan mereka. Misalnya, hanya 7 persen
menjawab bahwa teman-teman mereka lebih penting daripada keluarga mereka
(Social Trends, 1997). Contoh dan hasil tersebut diatas, sebenarnya tidak jauh
berbeda dengan Indonesia, meskipun belum ada hasil penelitian serupa.
Keluarga Indonesia,
sangat besar dan beragam, karena kita memiliki bentuk keluarga yang khas yang
berdasarkan pola prioritas, yaitu patriarkal
(otoritas di
dalam keluarga dimiliki oleh laki-laki, umumnya ayah), matriarkal (otoritas di dalam keluarga
dimiliki oleh perempuan, umumnya ibu), dan egaliter (suami dan istri berbagi otoritas secara seimbang).
Namun yang berbeda, peran
hubungan keluarga besar tampaknya berhasil selamat dari gangguan terhadap
kehidupan keluarga yang lazim ditemui pada abad kedua puluh satu dengan
meningkatnya angka perceraian dan kerumitan yang disebabkan oleh perceraian dan
munculnya keluarga-keluarga tiri. Jejaring kekerabatan telah menjadi lebih luas
dan tidak didasarkan secara eksklusif pada ikatan darah. Oleh karena itu
pembagian peran ayah dan ibu harus jelas dan kemudian pola komunikasi dan pola asuh
sangat penting dalam hal ini, meskipun
pembagian peran sering terabaikan antara suami dan istri dalam sebuah
rumah tangga.
Penulis ingin mengajak pembaca
untuk sama-sama mengetahui mengenai conjugal
role (peran konjugal), yaitu tugas
yang dilakukan oleh suami dan istri dalam rumah tangga. E. Bott (1957),
membedakan peran conjugal segregated,
dimana suami dan istri memiliki tugas yang sama sekali berbeda, dengan peran conjugal joint yang mana tugas-tugas
mereka kurang lebih dapat dipertukarkan. Peran conjugal segregated berkaitan dengan keeratan jejaring pertemanan
dan kerabat yang mendukung suami-istri melakukan kegiatan terpisah dalam rumah
tangga, waktu luang dan pekerjaan. Di sisi lain, joint roles disebabkan oleh kurangnya jejaring semacam itu,
misalnya karena mobilitas geografis. Sejumlah kajian (misalnya M. Young dan P. Willmott,
1973) menunjukkan bahwa ada kecendrungan menuju pernikahan yang lebih egaliter
dalam joint conjugal roles, seiring
dengan peningkatan istri bekerja dan suami tidak bekerja, peningkatan mobilitas
sosial dan geografis dan pemisahan dari kerabat lain. Penulis lain, seperti A.
Oakley (1974) berpendapat bahwa pergerakan menuju joint roles tidaklah berarti karena perempuan masih menanggung
beban perawatan anak dan pekerjaan rumah tangga. J. Gershuny (1992) menawarkan bukti
komparatif dari sejumlah negara yang mendukung argumen bahwa memang terdapat
kecenderungan menjauh dari segregated
roles meskipun masih terdapat ketidaksetaraan antara laki-laki dan
perempuan dalam pengambilan keputusan, perawatan anak dan pekerjaan rumah
tangga. Ini lagi-lagi yang harus menjadi perhatian, di zaman modern, dimana
perempuan juga memiliki karir/pekerjaan, sehingga diperlukan kreativitas dan
kerja sama diantara pasangan suami-istri dalam pembinaan keluarga.
Sebuah keluarga yang ideal menurut
penulis, para ahli dan Anda sendiri tentu berbeda antara yang satu dengan yang
lain. Tetapi di sini kita harus memiliki penglihatan yang sama, bahwa keluarga
yang utuh terdiri dari ayah, ibu, anak, dan kemudian terdapat pula keluarga besar,
yang ikut berperan terhadap sebuah keluarga baik sebagai pendukung, tempat
mendapat nasihat dan motivasi, juga wadah bercurah pendapat dan lain-lain.
Perlu kita cermati kembali permaknaan sebuah keluarga, belakangan seperti yang
kita ketahui dan lihat baik di media cetak maupun elektronik, keluarga seperti
tidak lagi memiliki kesucian, dan terkesan mudah. Perceraian dan perselingkuhan
seakan-akan menjadi trend di zaman ini, bahkan mereka berani tampil dan tidak
nampak sedikit pun rasa malu karena disaksikan banyak orang, dan menganggap
segalanya mudah. Hal tersebut menjadi bukti, bahwa ketahanan keluarga tidak
dimiliki oleh keluarga. Keluarga yang harusnya menjadi tumpuan dan sumber murni
dan terutama, tidak lagi menjadi wadah atau fungsi yang sesungguhnya.
Oleh sebab itu, perlu kesadaran
setiap keluarga Indonesia, untuk kembali bangkit dan lebih sensitif terhadap
perkembangan keluarganya, karena untuk membentuk sebuah keluarga yang sejahtera
tidak mudah. UU no. 10 tahun 1992, Pasal 4 jelas menyatakan bahwa pembangunan
keluarga sejahtera bertujuan untuk mengembangkan kualitas keluarga agar dapat
timbul rasa aman, tenteram, dan harapan masa depan yang lebih baik dalam
mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan batin. Pasal tersebut tegas
mengingatkan bahwa pembangunan yang harus dilaksanakan apabila dicermati lebih
mendalam, hal tersebut mengarah ke segala aspek, sehingga keluarga sangat
memiliki peranan dan tanggung jawab yang besar, khususnya terhadap anak.
Anak-anak yang telah dibina dengan baik dan mendapat perhatian dari keluarga,
tentu diharapkan dapat menjadi tumpuan dan berguna bagi bangsa dan orang-orang
disekitarnya. Dalam momen peringatan Hari Keluarga, yang diperingati setiap 29
Juni, mari kita tingkatkan komunikasi diantara anggota keluarga, perkuat sikap
saling menghargai dan percaya, memperbaiki pola parenting orang tua terhadap
anak, mendengarkan suara anggota keluarga dan anak-anak khusunya serta saling
mendukung, dan tak lupa untuk bersyukur, kiranya itu menjadi senjata yang ampuh
untuk meningkatkan sebuah ketahanan keluarga, tentu dengan pembagian peranan
yang telah disepakati dan mengesampingkan ego pribadi, alhasil akan lahir
sebuah keluarga yang harmonis dan ceria.
Seperti sinetron Keluarga Cemara
yang pernah menghiasi layar kaca kita, yang memberikan nilai-nilai yang
sederhana, menyentuh dan selalu bersyukur dengan keadaan yang ada, meski
keadaan keluarga tersebut sulit, tapi tetap berserah kepada Yang Kuasa, bahwa
kita tidak akan ditinggalkan dan dibiarkan dalam setiap kesusahan melainkan ada
jalan keluar yang telah dipersiapkan untuk umatnya yang percaya, hal tersebut
tentu tidak menjadi sesuatu hal yang berat untuk dikatakan sebuah keluarga yang
ceria dan sejahtera. Selamat memperingati hari keluarga kepada seluruh keluarga
Indonesia, salam hangat untuk keluarga Anda.
Maykel Ifan Situmorang
Daftar
Pustaka
Bott, E. (1957),
Family and Social Network, London, Tavostock.
Young, M, dan
Willmott, P. (1973), The Symmetrical Family, Harmondsworth, Penguin Books.
Oakley, A. 1974. The
Sociology of Housework, London, Martin Robertson
Gershuny, J. 1992.
Change In The Domestic Division of Labour In The UK, 1975-1987; Dependent Labour Versus Adaptive Partnership, dalam N. Abercrombie dan A. Warde. Social
Change In Contemporary Britain. Cambridge. Polity Press.
Social Trends 27 (1997), London,
Her Majesty’s Stationery Office.
http://www.dpr.go.id/uu/uu1992/UU_1992_10.pdf.
Undang-undang tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
Sejahtera. Diakses pada tanggal 28 Juni 2012, pada pukul 10.20 Wib
No comments:
Post a Comment