Jun 29, 2012

Keluarga: Harta Yang Paling Berharga


Sejenak melihat judul diatas, saya teringat pada sebuah sinetron keluarga dikala tahun 90-an waktu itu. Sinetron tersebut menceritakan sebuah kisah keluarga dengan berbagai kondisi keluarga tersebut, mereka tetap bersabar, ceria dan penuh syukur, sinetron itu berjudul “Keluarga Cemara” dan tentu sangat akrab di telinga anak-anak yang berada di era 90-an. Sinetron yang diambil dari novel karya Arswendo Atmowiloto ini menarik perhatian masyarakat karena kesan yang dimunculkan dalam sinetron tersebut sangat natural, apa adanya dan tidak jauh dari nilai-nilai serta tata krama bangsa Indonesia. Saya ingat dikala itu, saya bersiap ketika sinetron tersebut akan ditayangkan, karena saya ingin ikut menyanyikan lagu tema sinetron tersebut yang syairnya juga dituliskan oleh Arswendo Atmowiloto sendiri.

Demikian lirik lagunya;

Harta yang paling berharga adalah keluarga,
Istana yang paling indah adalah keluarga,

Puisi yang paling bermakna adalah keluarga,
Mutiara tiada tara adalah keluarga,

Selamat pagi abah, selamat pagi emak,
Mentari hari ini berseri indah,

Terima kasih abah, terima kasih emak,
Restu sakti perkasa bagi kami putra putri yang siap berbakti.

Yah, benar sekali, Anda dan saya masih mengingat jelas lirik lagu ini, yang sangat kental diingatan masyarakat. Anak-anak khususnya, mereka pasti akan berada didepan TV ketika sinetron ini ditayangkan, karena tayangan lainnya lebih didominasi oleh kartun-kartun yang berasal dari luar Indonesia.

Arswendo didalam novelnya tentu ingin mengingatkan kembali kepada seluruh masyarakat Indonesia, mengenai keindahnya dalam kesederhanaan sebuah keluarga, yang kemudian dijadikan sebuah sinetron untuk dapat dinikmati oleh seluruh penonton Indonesia. Kita harusnya berterima kasih bahwa seorang putra bangsa Indonesia telah berdedikasi untuk memberikan sebuah tontonan yang positif dan sekaligus mengkampanyekan bagaimana sebuah keluarga Indonesia yang selalu bersyukur, sabar dan tetap ceria menjalani kehidupannya.

Keluarga merupakan institusi terkecil yang menjalankan berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, sosial, dan ekonomi. Menurut Salvicion dan Celis (1998) di dalam keluarga terdapat dua atau lebih dari dua pribadi yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan, hidup dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dengan peran mereka masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan. Oleh karena itu, keluarga merupakan pilar utama dan terdepan dalam pembentukan karakter setiap orang, karena seseorang akan berinteraksi dengan dunia luar setelah ditempa atau mendapat didikan dari keluarganya.

Hal inilah yang perlu mendapat perhatian khusus dari keluarga, karena peranan penting yang dimiliki dalam mendidik anggota keluarganya, terkhusus anak. Selain itu juga ada sebuah istilah lain yang dikenal dengan keluarga besar (extended family) yang definisinya adalah unit sosial yang terdiri dari orang tua, anak-anak dan relasi lain yang lebih jauh; mungkin termasuk juga kakek, nenek, paman dan bibi yang tinggal di bawah satu atap. Istilah ini saat ini lebih banyak digunakan untuk menggambarkan hubungan yang agak longgar dimana keluarga batih (nuclear family) terus berhubungan dengan keluarga yang lebih besar melalui berbagai cara, tetapi tidak membentuk sebuah rumah tangga tunggal. Bentuk keluarga yang khas dalam masyarakat modern dengan demikian bukanlah keluarga inti yang terisolasi melainkan keluarga besar yang termodifikasi

Sebagai contoh, pertalian antara anggota-anggota keluarga besar yang termodifikasi di Inggris modern diselenggarakan dalam beberapa cara-kontak yang terus berlanjut, dimana arus dukungan dan keterkaitan emosional pada keluarga yang lebih besar, khususnya berkelanjutan ikatan orang tua – anak. Studi baru-baru ini telah menemukan bahwa sepertiga dari orang dewasa hidup sejauh 15 menit perjalanan dari ibu mereka dan tidak kurang dari 65 persen hidup dalam jarak 1 jam perjalanan. Secara umum kedekatan geografis itu juga berarti bahwa anggota-anggota keluarga benar-benar berjumpa satu sama lain. Sekitar setengah dan hampir tiga perempat minimal sebulan sekali. Keluarga juga terus berfungsi sebagai sumber dukungan praktis dan emosional. Bagi mereka yang menerima bantuan praktis, misalnya pada saat sakit, hampir setengah berasal dari orang tua dan kurang dari 10 persen dari teman-teman. Jaringan kekerabatan bahkan lebih berperan dalam hal pemberian hadiah atau pinjaman uang. Untuk arus dukungan ke arah lain sekitar dua dari lima orang dewasa memberikan perawatan, umumnya kepada orang tua. Terakhir, jelas ditunjukkan oleh survei-survei sikap anggota keluarga besar dalam kehidupan mereka. Misalnya, hanya 7 persen menjawab bahwa teman-teman mereka lebih penting daripada keluarga mereka (Social Trends, 1997). Contoh dan hasil tersebut diatas, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Indonesia, meskipun belum ada hasil penelitian serupa.

Keluarga Indonesia, sangat besar dan beragam, karena kita memiliki bentuk keluarga yang khas yang berdasarkan pola prioritas, yaitu patriarkal (otoritas di dalam keluarga dimiliki oleh laki-laki, umumnya ayah), matriarkal (otoritas di dalam keluarga dimiliki oleh perempuan, umumnya ibu), dan egaliter (suami dan istri berbagi otoritas secara seimbang).

Namun yang berbeda, peran hubungan keluarga besar tampaknya berhasil selamat dari gangguan terhadap kehidupan keluarga yang lazim ditemui pada abad kedua puluh satu dengan meningkatnya angka perceraian dan kerumitan yang disebabkan oleh perceraian dan munculnya keluarga-keluarga tiri. Jejaring kekerabatan telah menjadi lebih luas dan tidak didasarkan secara eksklusif pada ikatan darah. Oleh karena itu pembagian peran ayah dan ibu harus jelas dan kemudian pola komunikasi dan pola asuh sangat penting dalam hal ini, meskipun  pembagian peran sering terabaikan antara suami dan istri dalam sebuah rumah tangga.

Penulis ingin mengajak pembaca untuk sama-sama mengetahui mengenai conjugal role (peran konjugal), yaitu  tugas yang dilakukan oleh suami dan istri dalam rumah tangga. E. Bott (1957), membedakan peran conjugal segregated, dimana suami dan istri memiliki tugas yang sama sekali berbeda, dengan peran conjugal joint yang mana tugas-tugas mereka kurang lebih dapat dipertukarkan. Peran conjugal segregated berkaitan dengan keeratan jejaring pertemanan dan kerabat yang mendukung suami-istri melakukan kegiatan terpisah dalam rumah tangga, waktu luang dan pekerjaan. Di sisi lain, joint roles disebabkan oleh kurangnya jejaring semacam itu, misalnya karena mobilitas geografis. Sejumlah kajian (misalnya M. Young dan P. Willmott, 1973) menunjukkan bahwa ada kecendrungan menuju pernikahan yang lebih egaliter dalam joint conjugal roles, seiring dengan peningkatan istri bekerja dan suami tidak bekerja, peningkatan mobilitas sosial dan geografis dan pemisahan dari kerabat lain. Penulis lain, seperti A. Oakley (1974) berpendapat bahwa pergerakan menuju joint roles tidaklah berarti karena perempuan masih menanggung beban perawatan anak dan pekerjaan rumah tangga. J. Gershuny (1992) menawarkan bukti komparatif dari sejumlah negara yang mendukung argumen bahwa memang terdapat kecenderungan menjauh dari segregated roles meskipun masih terdapat ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan, perawatan anak dan pekerjaan rumah tangga. Ini lagi-lagi yang harus menjadi perhatian, di zaman modern, dimana perempuan juga memiliki karir/pekerjaan, sehingga diperlukan kreativitas dan kerja sama diantara pasangan suami-istri dalam pembinaan keluarga.

Sebuah keluarga yang ideal menurut penulis, para ahli dan Anda sendiri tentu berbeda antara yang satu dengan yang lain. Tetapi di sini kita harus memiliki penglihatan yang sama, bahwa keluarga yang utuh terdiri dari ayah, ibu, anak, dan kemudian terdapat pula keluarga besar, yang ikut berperan terhadap sebuah keluarga baik sebagai pendukung, tempat mendapat nasihat dan motivasi, juga wadah bercurah pendapat dan lain-lain. Perlu kita cermati kembali permaknaan sebuah keluarga, belakangan seperti yang kita ketahui dan lihat baik di media cetak maupun elektronik, keluarga seperti tidak lagi memiliki kesucian, dan terkesan mudah. Perceraian dan perselingkuhan seakan-akan menjadi trend di zaman ini, bahkan mereka berani tampil dan tidak nampak sedikit pun rasa malu karena disaksikan banyak orang, dan menganggap segalanya mudah. Hal tersebut menjadi bukti, bahwa ketahanan keluarga tidak dimiliki oleh keluarga. Keluarga yang harusnya menjadi tumpuan dan sumber murni dan terutama, tidak lagi menjadi wadah atau fungsi yang sesungguhnya.

Oleh sebab itu, perlu kesadaran setiap keluarga Indonesia, untuk kembali bangkit dan lebih sensitif terhadap perkembangan keluarganya, karena untuk membentuk sebuah keluarga yang sejahtera tidak mudah. UU no. 10 tahun 1992, Pasal 4 jelas menyatakan bahwa pembangunan keluarga sejahtera bertujuan untuk mengembangkan kualitas keluarga agar dapat timbul rasa aman, tenteram, dan harapan masa depan yang lebih baik dalam mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan batin. Pasal tersebut tegas mengingatkan bahwa pembangunan yang harus dilaksanakan apabila dicermati lebih mendalam, hal tersebut mengarah ke segala aspek, sehingga keluarga sangat memiliki peranan dan tanggung jawab yang besar, khususnya terhadap anak. Anak-anak yang telah dibina dengan baik dan mendapat perhatian dari keluarga, tentu diharapkan dapat menjadi tumpuan dan berguna bagi bangsa dan orang-orang disekitarnya. Dalam momen peringatan Hari Keluarga, yang diperingati setiap 29 Juni, mari kita tingkatkan komunikasi diantara anggota keluarga, perkuat sikap saling menghargai dan percaya, memperbaiki pola parenting orang tua terhadap anak, mendengarkan suara anggota keluarga dan anak-anak khusunya serta saling mendukung, dan tak lupa untuk bersyukur, kiranya itu menjadi senjata yang ampuh untuk meningkatkan sebuah ketahanan keluarga, tentu dengan pembagian peranan yang telah disepakati dan mengesampingkan ego pribadi, alhasil akan lahir sebuah keluarga yang harmonis dan ceria.

Seperti sinetron Keluarga Cemara yang pernah menghiasi layar kaca kita, yang memberikan nilai-nilai yang sederhana, menyentuh dan selalu bersyukur dengan keadaan yang ada, meski keadaan keluarga tersebut sulit, tapi tetap berserah kepada Yang Kuasa, bahwa kita tidak akan ditinggalkan dan dibiarkan dalam setiap kesusahan melainkan ada jalan keluar yang telah dipersiapkan untuk umatnya yang percaya, hal tersebut tentu tidak menjadi sesuatu hal yang berat untuk dikatakan sebuah keluarga yang ceria dan sejahtera. Selamat memperingati hari keluarga kepada seluruh keluarga Indonesia, salam hangat untuk keluarga Anda. 

Maykel Ifan Situmorang

Daftar Pustaka

Bott, E. (1957), Family and Social Network, London, Tavostock.
Young, M, dan Willmott, P. (1973), The Symmetrical Family, Harmondsworth, Penguin Books.

Oakley, A. 1974. The Sociology of Housework, London, Martin Robertson

Gershuny, J. 1992. Change In The Domestic Division of Labour In The UK, 1975-1987; Dependent Labour Versus Adaptive Partnership, dalam N. Abercrombie dan A. Warde. Social Change In Contemporary Britain. Cambridge. Polity Press.

Social Trends 27 (1997), London, Her Majesty’s Stationery Office. 
http://id.wikipedia.org/wiki/Keluarga. Diakses pada tanggal 28 Juni 2012, pada pukul 10.00 WIB

http://www.dpr.go.id/uu/uu1992/UU_1992_10.pdf. Undang-undang tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Diakses pada tanggal 28 Juni 2012, pada pukul 10.20 Wib

No comments:

Post a Comment