Membesarkan
anak merupakan salah satu peran yang paling menantang untuk dijalankan para
orangtua. Perbedaan pandangan dan kesalahpahaman mengenai cara-cara yang baik
dalam membesarkan anak dapat berujung pada pengasuhan dan pola komunikasi yang kurang
efektif antara orangtua dengan anak.
Sebagian
orangtua menggunakan pola asuh “otoriter”, dimana anak lebih banyak diarahkan
dan tidak banyak diberi kesempatan untuk berkreasi dan membuat pilihan sendiri.
Sebagian lagi melakukan sebaliknya, mereka bersikap “permisif” dengan terlalu
banyak memberikan kebebasan kepada anak dan kurang memberikan batasan yang
jelas. Penelitian menunjukkan bahwa kedua jenis pola asuh tersebut dapat berdampak
buruk terhadap perkembangan emosional mereka dan dapat menyulitkan mereka dalam
membina hubungan yang sehat saat mereka dewasa nanti.
Pola
asuh yang ideal adalah dimana orangtua dapat bersikap adil, menghargai, luwes,
dan menjadikan pembelajaran sebagai tujuan utama, bukan sekedar menuntut
kepatuhan dari anak. Mendengarkan dan menghargai perasaan anak, mengizinkan
anak membuat keputusan sendiri, dan di saat yang sama menetapkan
batasan-batasan yang jelas serta konsekuensi yang tegas dan adil terhadap
perilaku-perilaku yang tidak diinginkan.
Tulisan
ini akan memberikan beberapa contoh komunikasi yang kurang efektif antara
orangtua dengan anak dan memberikan contoh lain yang lebih tepat dalam
mengungkapkan pesan yang hendak disampaikan.
1. Terlalu
Banyak Bicara
Penelitian
menunjukkan bahwa otak manusia memiliki kemampuan yang terbatas dalam menyimpan
informasi pada waktu yang bersamaan. Menyampaikan terlalu banyak hal pada waktu
yang bersamaan akan membuat anak bingung, sehingga mereka akan berhenti
mendengarkan dan memperhatikan apa yang dikatakan orangtua mereka.
Tidak
Efektif:
“Apa kamu yakin masih
mau aktif di klub sepakbola itu? Sekarang aja kamu udah les Matematika dan
Bahasa Inggris tiap hari untuk persiapan Ujian Nasional. Kalo kamu masih mau
ikut klub sepakbola itu, berarti kamu baru bisa ikut les nya setelah latihan,
padahal perjalanan dari tempat latihan ke rumah 30 menit, belum lagi kalo
macet, bisa sampe 1 jam..”
Pernyataan
diatas menyampaikan terlalu banyak informasi, yang dapat membuat anak bingung akan
arah dan maksud pembicaraan tersebut. Pernyataan tersebut juga cenderung bersifat
negatif karena menyampaikan kecemasan dan keraguan tanpa maksud dan tujuan yang
jelas, hal ini dapat membuat anak bingung dalam memberikan tanggapan. Akan
lebih baik apabila pesan disampaikan secara bertahap agar lebih mudah dicerna,
tidak menyampaikan semua informasi dalam waktu yang bersamaan, mengajak anak berdialog
untuk menemukan solusinya, dan memberikan kesempatan pada anak untuk mengungkapkan
apa yang ia inginkan.
Efektif:
“Kalau kamu
masih mau aktif di klub sepakbola semester ini, berarti kamu baru bisa ikut les
untuk Ujian Nasional di malam hari. Ayo kita pikirin dan bicarain sama-sama
untuk melihat apa kamu sanggup melakukan kedua kegiatan itu.”
Dalam
contoh ini, orangtua menyampaikan pesannya dalam dua kalimat, yang membuat anak
lebih mudah menangkap pesan yang disampaikan, yaitu berdiskusi mengenai
kegiatan yang ia jalani. Hasil yang diharapkan pun jelas, yaitu untuk melihat
apakah anak sanggup menjalankan kedua kegiatan tersebut secara bersamaan. Dengan
mengajak anak berdiskusi, maka orangtua manyampaikan keinginan mereka untuk membantu
anak dalam menemukan solusi atas permasalahan yang ia hadapi.
2. Mengomeli dan
Memperingati Secara Berulang Ulang
Kebanyakan
orangtua mengalami masalah dalam mendorong anak mereka untuk melakukan hal-hal
tertentu, seperti mengerjakan pekerjaan rumah, mandi dan berpakaian untuk
sekolah, merapikan kamar. Banyak orangtua yang akhirnya mencoba mengendalikan
keadaan dengan mengomeli dan memperingati anak secara berulang-ulang.
Masalahnya, memberikan omelan dan peringatan yang berulang-ulang justru melatih
anak untuk bersikap tidak acuh, karena mereka tahu mereka masih akan diingatkan
lagi nantinya. Anak-anak yang masih kecil memang masih membutuhkan banyak
bimbingan dan arahan, namun seiring dengan bertambahnya usia mereka, mereka
juga perlu diberikan lebih banyak kepercayaan dan tanggung jawab.
Tidak
Efektif:
“Ayo bangun
sekarang, siap-siap, nanti kamu terlambat lagi nyampe sekolah. Buku pelajaran
hari ini udah disiapin? Seragam buat hari ini udah kamu siapin?”
Sepuluh
menit kemudian
“Kamu ini kok udah dibilangin malah masih tidur-tiduran? Nanti Papa juga terlambat. Cepet sana mandi dan siap-siap.”
Sepuluh
menit kemudian
“Loh kok masih nyiapin
buku? Harusnya kan dari semalem udah kamu siapin! Terlambat lagi deh.”
Dan
seterusnya.
Dalam
contoh diatas, sang Bapak terlalu banyak mengambil tanggung jawab anaknya, dan
secara tidak langsung memberikan kesan bahwa sang anak tidak dapat mengatasi
keadaan tersebut tanpa diperintah dan diarahkan. Hal ini dapat membuat anak
menjadi kurang percaya diri dan mengembangkan ketergantungan yang berlebihan. Cara
bicaranya pun cenderung bernada negatif dan menyerang, sehingga dapat memicu
kekesalan bahkan perlawanan dari anak.
Efektif:
“Kita berangkat
30 menit lagi ya. Kalau kamu belum siapin semua keperluan kamu untuk sekolah,
nanti kamu yang harus jelasin ke guru kamu.”
Melalui
pernyataan tersebut, orangtua menyampaikan arahan yang singkat dan jelas, yang bernada
netral dan bebas dari penilaian terhadap anak. Orangtua juga mengajarkan anak untuk
mandiri dan bertanggung jawab atas perilaku mereka dengan menyampaikan
konsekuensi logis yang harus dihadapi anak apabila ia tidak siap pada waktunya.
3. Menggunakan
Rasa Bersalah dan Malu Untuk Mendapatkan Kepatuhan
Satu
hal yang seringkali dilupakan banyak orangtua adalah anak-anak tidak secara
alami memiliki empati dan pengertian terhadap keinginan dan kebutuhan orang
lain, termasuk orangtua mereka sendiri. Mereka mengembangkan kemampuan tersebut
secara perlahan seiring dengan bertambahnya usia mereka, dan dengan teladan
dari orang lain. Dengan demikian, mengharapkan anak untuk dapat menempatkan
diri dalam posisi orangtua mereka merupakan hal yang kurang masuk akal.
Kebanyakan
orangtua memiliki banyak pekerjaan dan kesibukan lain selain menjadi orangtua,
sehingga seringkali mereka lupa memperhatikan kebutuhan mereka sendiri, dan
melampiaskan kekesalan tersebut kepada orang lain, termasuk anak. Sangat
penting bagi para orangtua untuk tidak membiarkan hal-hal tersebut mempengaruhi
komunikasi mereka dengan anak.
Tidak Efektif:
“Bukannya mama
udah sering ingetin kamu untuk rapiin barang-barang kamu sendiri, ini kok mainan
kamu berceceran di ruang tamu?! Kamu
ngga tau apa mama udah capek ngurusin rumah seharian? Masak buat kamu, nyuci
pakaian, nyapu, ngepel, masa mama harus beresin kamar kamu juga, kaya anak
kecil aja! Kenapa sih gitu aja ga bisa?”
Pernyataan
diatas bernada menyalahkan dan merendahkan sang anak. Walaupun kegusaran sang
Ibu dapat dipahami, menyalahkan dan menilai anak sebagai “anak kecil” yang
tidak bertanggung jawab dan “tidak mampu” melakukan sesuatu dapat mengembangkan
rasa rendah diri dan tidak percaya diri pada anak. Dengan dinilai seperti itu,
anak akan merasa bahwa dirinya tidak cukup baik untuk diterima oleh orangtuanya
sendiri. Seharusnya, yang menjadi fokus adalah perilaku yang tidak diinginkan,
bukan anak itu sendiri.
Efektif:
“Mama lihat mainan-mainan
kamu masih ada di ruang tamu, dan itu
membuat mama kecewa. Mama pingin rumah dalam keadaan rapi dan bisa jadi tempat
yang nyaman buat semuanya. Hari ini mama simpan dulu ya mainannya, besok boleh
kamu ambil lagi setelah kamu rapiin semuanya.”
Dalam
pernyataan diatas, sang Ibu mengungkapkan dengan jelas perasaan dan
keinginannya, tanpa memarahi, menyalahkan, ataupun memberikan penilaian
terhadap anak. Ia pun memberikan hukuman yang ringan dan memberi kesempatan
pada anak untuk memperbaiki kesalahnnya.
4. Tidak
Mendengarkan
Semua
orangtua ingin agar anak-anak mereka mampu menghargai dan menghormati orang
lain. Cara terbaik untuk mencapainya adalah dengan menjadi teladan bagi mereka dengan
memberi contoh lewat perilaku dan perkataan sehari-hari. Hal ini mengembangkan
kemampuan mereka untuk berkomunikasi dengan efektif dan berempati terhadap
orang lain.
Mendengarkan
seringkali merupakan hal yang sulit dilakukan para orangtua, karena kesibukan
ataupun hal-hal lain yang menyita pikiran mereka. Dalam keadaan tersebut, akan
lebih baik bila orangtua untuk berkata: “Papa
cape nih, baru pulang kerja, nanti ya kamu ceritain setelah papa mandi”. Lebih
baik menunda percakapan untuk beberapa saat dibandingkan mendengar dengan
setengah hati. Namun penundaan tersebut sebaiknya tidak lama, karena anak-anak
dapat kehilangan minat mereka untuk bercerita.
Tidak
Efektif:
Anak : Pa! Aku tadi bikin gol loh!
Bapak : (Sambil melihat dan mengetik di telepon
genggamnya) Wah, hebat kamu nak. Kamu udah selesai ngerjain PR belum?
Mendengarkan
secara efektif juga melibatkan aspek-aspek non-verbal, seperti menjaga kontak
mata, menyampaikan pemahaman dengan wajah dan intonasi suaram dan menggunakan
kata-kata untuk mengungkapkan pemahaman kita. Dalam contoh di atas, sang Bapak secara
tidak langsung mengajari anak untuk tidak mengganggunya, dan bahwa hal-hal yang
penting bagi sang anak, dalam hal ini mencetak gol, bukanlah hal yang penting
bagi orangtuanya. Hal ini dapat membuat anak merasa sendiri dan tidak dihargai
oleh orangtuanya.
Efektif:
Anak : Pa! Aku tadi bikin gol loh!
Bapak : Wah, hebat banget! Pasti kamu senang ya!
Coba kamu ceritain gimana kejadiannya.”
Dalam
contoh ini, sang Bapak menanggapi dengan bersemangat dan menunjukkan minat
terhadap cerita sang anak; hal ini mendorong anak untuk menjelaskan dan bercerita
lebih lanjut mengenai apa yang ia ungkapkan. Ia menanggapi semangat sang anak
dengan sama bersemangatnya. Tanggapan seperti ini akan membuat anak merasa
dirinya penting dan diperhatikan. Tanggapan yang menunjukkan empati seperti ini
juga akan mengajari anak untuk membaca, memproses, serta menanggapi emosi dan
perasaan orang lain dengan lebih baik.
Mengasuh
anak bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, dan tidak jarang pula para
orangtua melakukan kesalahan. Membangun komunikasi yang efektif dengan
anak-anak membutuhkan banyak waktu dan tenaga. Para orangtua perlu senantiasa melihat
kembali cara-cara serta pola komunikasi yang mereka jalankan, belajar untuk
membedakan cara-cara yang efektif dari cara-cara yang tidak efektif, dan terus mengembangkan
kemampuan mereka dalam berkomunikasi demi membesarkan anak-anak yang sehat
tidak secara fisik, namun juga secara emosional.
Diterjemahkan dengan perubahan dari:
http://www.psychologytoday.com/blog/the-mindful-self-express/201209/worst-mistakes-parents-make-when-talking-kids, 19 September 2012.